Inggit Garnasih, Perempuan Luar Biasa Asal Bandung

inggit-garnasih-perempuan-luar-biasa-asal-bandung Salah satu sudut kediaman Inggit Ganarsih.. (Trie Widiyantie/PindaiNews)

DIDADAMEDIA, Bandung   -- Publik di Bandung, bahkan Indonesia, tentunya sangat mengenal sosok perempuan luar biasa bernama Inggit Ganarsih. Ya, dia adalah salah seorang isteri Presiden Republik Indonesia (RI) pertama, Soekarno.

Meski telah tiada, ternyata, aura Inggit Ganarsih masih terasa pada kediamannya di Jalan Ciateul 8 Bandung, yang kini, termasuk heritage atau bangunan cagar budaya.  Banyak kisah Inggit yang terjadi di rumah tersebut. 

Konon, di irumah itu, Inggit Garnasih memulai salah satu bisnisnya, yaitu  memproduksi jamu dan bedak. Bahkan, alat yang dulu dia gunakan mengolah jamu serta bedak masih ada. 

Pada 1997, berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 073/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997, yang penyerahannya pada tanggal 10 November 1997, nama Jalan Ciateul berubah menjadi Jalan Inggit Ganarsih. Hal itu sebagai penghormatan pemerintah kepada perempuan tangguh tersebut.

Selain itu, pergantian nama jalan itu pun bertepatan dengan pemberian Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama kepada tokoh bersejarah tersebut. 

Akan tetapi, belum banyak yang tahu juga, bahwa perempuan itu mulai menyandang nama Inggit ketika remaja. Garnasih menjadi seorang remaja putri cantik dan menarik. 

Bahkan, di antara mereka sering melontarkan kata-kata memperoleh senyuman Garnasih sama artinya menerima uang seringgit' (pada saat itu satu ringgit sama dengan 2,5 gulden Belanda, dan nilainya masih sangat besar). Akhirnya, Inggit pun menjadi rangkaian nama perempuan hebat tersebut. 

Berdasarkanmuseumindonesia.com, saat berusia sekitar 12 tahun, yakni sekitar 1900, Inggit Garnasih memasuki gerbang pernikahan pertamanya, dengan Nata Atmadja, seorang patih Kantor Residen Belanda. Sayang, pernikahannya tidak berlangsung lama.

Kemudian, Inggit Ganarsih dilamar H. Sanoesi, pedagang kaya dan sukses. Sosok ini pun tokoh organisasi perjuangan Sarekat Islam Jabar dan merupakan orang kepercayaan Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Ternyata, pernikahan keduanya ini merupakan awal kehidupan Inggrit memasuki dunia politik dan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Saat Kongres Sarekat Islam (1916) bergulir, Inggit memimpin dapur umum, mengatur, dan menerima undangan.

Rumah tangga Inggit dengan H. Sanoesi berjalan mulus dan penuh kasih sayang. Namun, ketika seorang pemuda, yang berbekal surat dari HOS Tjokroaminoto bernama Soekarno datang.

Surat itu berisi pesan agar H. Sanoesi menerima Soekarno tinggal di rumahnya sebagai anak indekosan karena terdaftar sebagai student HTS (sekarang ITB). 

Saat itu Soekarno menikah siri dengan putri HOS Tjokroaminoto, Oetari. Namun, dalam kehidupan sehari-harinya, Soekarno hanya mengganggap Oetari sebagai adik, bukan istri.

Selanjutnya, Soekarno dan Inggit Ganarsih saling jatuh cinta. Tentu saja, hal itu menimbulkan prahara pernikahan Inggit Ganarsih dengan H Sanoesi. Namun, prahara itu teriselesaikan secara baik yakni melalui kesepakatan. 

Secara ikhlas, H. Sanoesi menceraikan Inggit demi tujuan luhur, yakni mendampingi Soekarno, yang dia yakini menjadi memimpin dan memerdekakan Indonesia. Begitu pula dengan Soekarno. Pria luar biasa ini menceraikan Oetari secara baik-baik.

Pada 24 Maret 1923, Inggit dan Soekarno menikah. Saat itu, Soekarno berusia 22 tahun dan Inggti 35 tahun. Bagi Inggit, Soekarno adalah suami, guru, mitra perjuangan sekaligus kekasih. 

Begitupun sebaliknya bagi Soekarno, Inggit adalah istri, mitra berjuang, kekasih, sekaligus merupakan sosok 'ibu' yang memberikan air kehidupan penyejuk jiwa. Kondisi inilah yang menjadi jiwa Soekarno kokoh dan semangat menjalani suka duka dalam perjuangan.

Namun, Inggit tidak berhasil menyelamatkan kemelut rumah tangganya. Inggit merelakan Soekarno menikah dengan Fatmawati, yang dia anggap seperti anaknya.

Sepulangnya dari Bengkulu, Inggit kembali ke Bandung. Pada 29 Februari 1942, Inggit resmi bercerai dengan Soekarno, disaksikan Kyai Haji Mas Mansoer. Surat cerai diserahkan Soekarno kepada Inggit yang diwakili H. Sanoesi.

Sejak itu selesailah tugas Inggit mengantarkan Soekarno sebagai pemimpin dan Bapak Bangsa menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Perjalanan hidup Inggit selanjutnya berlangsung dalam kesendirian dan berusaha mencari nafkah secara mandiri,yakni membuat bedak dan jamu.

"Ada dua batu yang masih terabadikan. Keduanya tersimpan dalam sebuah etalase di ruang jamu dan bedak. Peninggalan itu menjadi nilai kuat, Bu Inggit Garnasih adalah sosok ulet dan pekerja keras," ungkap seorang penjaga rumah Inggit Garnasih, Jajang Ruhiat (46), Selasa (21/9/2021). 

Menjelang akhir hayatnya, Inggit Garnasih menunjukkan pribadinya sebagai wanita berbudi luhur dan berjiwa besar. Dia ingin bertemu Fatmawati. Isteri Soekarno lainnya, Hartini dan Ariyati, cukup kerap mengunjunginya. 

Atas prakarsa Ali Sadikin, Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, keinginan Inggit terpenuhi. Pada 7 Februari 1980, Inggit Ganarsih bertemu Fatmawati dalam sebuah pertemuan yang sangat mengharukan. 

Keduanya berpelukan. Sambil  menangis Fatmawati meminta maaf. Secara tulus, Inggit Ganarsih pun memaafkan Fatmawati. Tiga bulan kemudian, Inggit Garnasih wafat, tepatnya pada 13 April 1984 dalam usia 96 tahun, dan dimakamkan di Pemakaman Umum PORIB, tepatnya Jalan Makam Caringin-Kopo Bandung.


Editor: redaktur

Komentar