ASN Naturalisasi Purwakarta duduki jabatan penting di Pemprov Jabar

bedol-desa-dari-purwakarta-sah-secara-administratif-tapi-cacat-moral . (net)

Tridinews.com, Bandung - Pemerintah Provinsi Jawa Barat kembali menorehkan babak kontroversial dalam pengelolaan manajemen ASN tingkat Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT).

Dalam dokumen yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, sebanyak 5 pejabat dari kabupaten - 4 dari Kabupaten Purwakarta dilantik menduduki kursi strategis di lingkungan Pemprov, seluruhnya hasil proses mutasi Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) antar-instansi dengan dalih telah lulus uji kompetensi dan disetujui BKN.

Namun, dari balik pelantikan dan dokumen administratif yang sah itu, terselip aroma kejanggalan yang tak bisa diabaikan.

Temuan KAWANI: Rekrutmen Tertutup, Jalur Licin untuk Loyalis Lama

Menurut hasil investigasi internal Komunitas Aliansi Wartawan Investigatif (KAWANI), empat dari lima pejabat yang dilantik diketahui merupakan figur lama dalam lingkaran loyalis Dedi Mulyadi semasa menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Mereka adalah:

1. Dr. Purwanto, M.Pd., S.Pd.

Dari Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta menjadi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.

2. Agung Wahyudi, ST, MT, MM

Dari Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman Kabupaten Purwakarta menjadi Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang.

3. dr. Deni Darmawan, MARS

Dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purwakarta menjadi Direktur RSUD Al-Ihsan milik Pemprov Jabar.

4. Asep Supriatna, SIP, SAN, MM

Dari Kepala Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Purwakarta menjadi Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Jawa Barat.

Nama-nama ini mengisi posisi yang tak sekadar strategis, tapi juga “basah”, mengelola alokasi anggaran yang mencapai triliunan rupiah, mulai dari proyek infrastruktur, layanan pendidikan, kesehatan, hingga potensi optimalisasi pendapatan daerah.

“Ini bukan soal mutasi biasa. Ini semacam pemindahan kekuasaan mikro dari kabupaten ke provinsi. Ada apa di balik perpindahan massif ini, dan mengapa semuanya berasal dari satu daerah yang sama?” ungkap Budi Mulia Setiawan, Kordinator Kawani.

Budi menyebutkan bahwa Gubernur Jawa Barat itu pernah berjanji tidak akan membawa pejabat dari Purwakarta ke dalam susunan di Pemprov Jabar.

Pencemaran Sistem Merit

Ilmi Hatta, pengamat kebijakan publik dan psikolog politik dari Universitas Islam Bandung, menyebut pengangkatan ini sebagai bentuk pencemaran sistem merit yang terlegitimasi oleh surat persetujuan administratif.

“Apakah Purwakarta sudah punya sistem merit yang ketat dan transparan seperti Pemprov Jabar? Apakah rekam jejak kinerja mereka diukur dengan cara yang bisa dikonversi secara objektif? Kalau tidak, maka ini adalah pemaksaan sistem yang tidak setara, dan ini melanggar prinsip dasar meritokrasi,” tegas Ilmi.

Ia menambahkan, mutasi bukan sekadar soal kelulusan uji kompetensi, tapi juga kecocokan nilai dan sistem pengukuran kinerja. “Kalau sistem Pemprov punya scoring berbasis IKU, pelaporan berbasis output, dan proses seleksi terbuka, maka nilai dari luar harus melewati konversi sistem, bukan langsung disetarakan.”

Jabatan Basah, Kontrol Publik Melemah

KAWANI mencatat, keempat jabatan yang diisi oleh eks pejabat Purwakarta selama ini menjadi pusat pengelolaan proyek besar, seperti:

• Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang: memiliki pagu anggaran infrastruktur jalan dan jembatan mencapai Rp2,7 trilun pada tahun berjalan.

• Dinas Pendidikan: mengelola program Ruang Kelas Baru dan Meubelair dengan pergeseran anggaran lebih dari Rp1 ,7 triliun.

• Bapenda Jabar: menjadi mesin penghasil PAD, terutama dari pajak kendaraan bermotor dan sektor strategis lainnya.

• RSUD Al-Ihsan: rumah sakit milik Pemprov yang kini masuk dalam rencana hospital hub dengan suntikan anggaran hampir Rp 1 Triliun dari pergeseran anggaran.

“Dengan menempatkan orang-orang dari daerah yang sama dalam posisi strategis seperti ini, potensi terjadinya konflik kepentingan dan korupsi kolusif semakin terbuka. Apalagi jika prosesnya tertutup dan tidak melalui mekanisme kompetisi terbuka yang setara,” ujar Ilmi.

Pengangkatan Ini Sah Secara Administratif, Tapi Cacat Secara Moral

Dalam surat terbuka yang dirilis KAWANI, mereka menuntut evaluasi atas keputusan mutasi ini oleh Kementerian PANRB dan Komisi ASN. Proses pengisian JPT seharusnya mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas—bukan loyalitas historis atau balas budi politik.

Dokumen yang ditandatangani Gubernur, menurut Budi, memang sah di atas kertas. Namun, kita harus bertanya: sah untuk siapa? Untuk rakyat, atau untuk segelintir elite yang sedang membangun ulang kekuasaan dalam struktur birokrasi?

Jika sistem merit hanya menjadi jargon, dan proses pengisian jabatan strategis berubah menjadi jalur ekspres loyalis, maka Pemprov Jabar sedang meluncur ke arah yang berbahaya: normalisasi feodalisme dalam kemasan modern.

Editor: redaktur

Komentar