Tridinews.com - Gaya blusukan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, selama 100 hari pertama kepemimpinannya mendapat sorotan.
Meski pendekatannya yang prorakyat diapresiasi, sejumlah kebijakannya dinilai menabrak rambu-rambu birokrasi dan perlu dievaluasi.
Hal ini disampaikan oleh aktivis dan pemerhati kebijakan publik, Eka Santosa.
Eka memberikan penilaian terbuka terhadap Dedi Mulyadi. Ia mengapresiasi pendekatan kerakyatan yang ditunjukkan oleh sang gubernur.
“Saya jujur ya, appreciate terhadap satu langkah dia, yaitu kerakyatannya. Dia mau berimprovisasi, langsung menyentuh masyarakat. Apalagi dia dipilih langsung oleh rakyat,” kata Eka, Kamis (29/5/2025).
Menurut Eka, jabatan gubernur bukan sekadar perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam sistem dekonsentrasi, melainkan juga pemegang otoritas politik yang sah dari rakyat.
“Gubernur itu bukan hanya kepala birokrasi, tapi juga pemimpin rakyat. Jadi, harus mau turun ke bawah, menyentuh langsung masyarakat,” ucap Eka.
Namun, Eka juga menyoroti beberapa kebijakan Dedi Mulyadi yang dinilainya perlu dikritisi, terutama dari sisi tata kelola pemerintahan dan aturan main yang berlaku.
“Gubernur itu memang harus berimprovisasi, tapi tetap ada rambu-rambu. Nah, ini yang kemudian perlu jadi perhatian. Ada beberapa langkah Kang Dedi yang dari sisi aturan tampak kurang tepat,” ujarnya.
Eka merujuk pada beberapa kebijakan kontroversial yang sempat memicu polemik, termasuk dinamika internal antara gubernur dan wakil gubernur, hingga polemik yang sampai membuat DPRD turun tangan untuk menggelar rapat khusus.
Meski begitu, Eka menegaskan kritiknya bukan dilandasi sentimen pribadi maupun politik.
“Saya baik secara pribadi dengan beliau. Pernah beberapa kali bertemu dan saling memberi apresiasi. Tapi ini soal posisi publik, harus objektif,” tegas Eka.
Satu di antara hal yang menjadi perhatian Eka adalah tagline yang diusung Dedi Mulyadi dalam memimpin Jawa Barat.
“Saya tidak tahu penilaian para akademisi, tapi Jawa Barat ini dibangun dengan proses historis panjang. Ada nilai-nilai kultural yang harus dijaga. Ketika menyusun narasi besar, termasuk tagline, seharusnya memperhatikan itu,” kata Eka.
Bagi Eka, kepemimpinan yang kuat bukan hanya soal keberanian turun ke masyarakat, tapi juga kesadaran terhadap sistem dan nilai yang membentuk identitas daerah.
“Semangatnya saya hargai. Tapi tetap harus terikat pada nilai-nilai yang sudah jadi fondasi Jawa Barat, yaitu gemah ripah rapih,” ujarnya.
Editor: redaktur