‎Tersangka Longsor Gunung Kuda Lakukan Pembelaan, Ini katanya

tersangka-longsor-gunung-kuda-lakukan-pembelaan-ini-katanya . (net)

Tridinews.com - ‎Polres Kota Cirebon telah menetapkan dua orang sebagai tersangka dalam kasus longsornya tambang Gunung Kuda di Cirebon. Mereka adalah Abdul Karim, selaku Ketua Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) Al Azhariyah yang juga pemilik tambang, dan Ade Rahman, yang disebut-sebut sebagai Kepala Teknik Tambang (KTT).‎

‎Untuk diketahui, tragedi longsor di lokasi tambang batu alam Gunung Kuda berlokasi di Desa Cipanas, Kecamatan Dukupuntang, Kabupaten Cirebon, yang terjadi pada Jumat (30/5) lalu, menyisakan duka mendalam. Sebanyak 25 orang pekerja dilaporkan tewas dalam insiden tersebut.

‎Namun, penetapan tersangka terhadap Ade Rahman menuai sorotan dan keberatan dari pihak kuasa hukumnya. Ferry Ramadhan, selaku penasihat hukum Ade Rahman, menilai langkah tersebut terburu-buru dan tidak mencerminkan asas keadilan dalam proses hukum.

‎"Kami menghormati proses hukum yang dilakukan oleh Polres Kota Cirebon, namun penetapan tersangka terhadap klien kami tidak didasari pertimbangan yang utuh. Ade Rahman bukan lagi menjabat sebagai KTT pada saat kejadian," ujar Ferry, Rabu (18/6/2025).

‎Ferry menjelaskan bahwa Ade Rahman sebelumnya memang pernah ditunjuk sebagai KTT sementara oleh pihak koperasi tambang, yakni sejak 20 November 2021 hingga 20 November 2022. Penunjukan itu, menurutnya, sesuai aturan yang membatasi masa jabatan KTT sementara hanya enam bulan dan dapat diperpanjang sekali.

‎"Setelah masa itu berakhir, statusnya sebagai KTT otomatis tidak berlaku lagi secara hukum. Bahkan, pada tahun 2023, Ade Rahman sempat mengikuti ujian teknik untuk menjadi KTT definitif namun tidak lulus. Secara latar belakang pun beliau adalah sarjana pendidikan, bukan ahli pertambangan," jelasnya.

‎Ia menegaskan bahwa pada saat kejadian longsor, Ade Rahman sudah tidak memiliki kewenangan dalam kegiatan operasional tambang, termasuk dalam hal instruksi kerja, penjadwalan, maupun pengadaan alat berat.

‎"Segala pengaturan teknis di lapangan dilakukan langsung oleh pemilik tambang kepada para mandor. Klien kami bahkan tidak mengetahui jalannya proses pertambangan saat kejadian berlangsung. Beliau sedang berada di rumah, bukan di lokasi," lanjutnya.

‎"Apalagi sesuai data yang kami peroleh dari Dinas ESDM Jabar maupun dari Inspektur Tambang tidak menyebutkan Ade Rahman sebagai KTT," terangnya.

‎Dengan dasar-dasar tersebut, tim kuasa hukum menyatakan sedang merumuskan upaya hukum terhadap penetapan tersangka yang dinilai tidak tepat sasaran.

‎"Kami meminta proses penegakan hukum berjalan objektif dan tidak tebang pilih. Kami sedang mempertimbangkan langkah hukum lanjutan, baik praperadilan maupun laporan etik, jika diperlukan," tegasnya.

‎Menambah deretan kejanggalan, Santi, istri dari Ade Rahman, turut angkat bicara. Ia menyebut suaminya sudah beberapa kali mengajukan pengunduran diri dari lokasi tambang, namun selalu dihalangi oleh pihak pemilik tanpa alasan yang jelas.

‎"Terakhir pada bulan Februari lalu, suami saya kembali mencoba mengundurkan diri, tapi tetap tidak diperbolehkan. Kami heran kenapa seperti dipaksa tetap terlibat padahal dia sudah tak punya kewenangan apa-apa," ungkapnya.

‎Ia berharap dalam proses penegakan hukum harus berjalan adil. Mengingat ayah dari tiga orang anak itu tidak memiliki peran penting atas insiden longsor tersebut.

‎"Udah dari lama suami emang suka cerita udah enggak betah lagi kerja di sana, tapi ya mengundurkan diri aja selalu ditahan-tahan," paparnya.

‎Sekadar diketahui, Polresta Cirebon resmi menetapkan dua orang tersangka dalam kasus longsor maut yang terjadi di area tambang batu alam Gunung Kuda, Kabupaten Cirebon, yang telah menewaskan puluhan pekerja pada tanggal 31 Mei 2025 lalu.

‎Sebelumnya, Kapolresta Cirebon Kombes Pol Sumarni, menjelaskan bahwa keduanya diduga dengan sengaja mengabaikan surat larangan dan peringatan resmi dari Dinas ESDM Wilayah VII Cirebon terkait kegiatan tambang ilegal yang dilakukan tanpa persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).

‎Berdasarkan hasil penyelidikan, diketahui bahwa sejak 8 Januari 2025, Kantor Cabang Dinas ESDM Wilayah VII Cirebon telah mengirimkan surat larangan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) terkait penghentian kegiatan tambang karena tidak memiliki persetujuan RKAB. Surat peringatan serupa kembali dikirimkan pada 19 Maret 2025, namun tetap diabaikan.

‎"Modus operandinya, tersangka AK (Abdul Karim) selaku pemilik koperasi tetap memerintahkan tersangka AR (Ade Rahman) untuk menjalankan kegiatan pertambangan. Keduanya mengetahui dengan jelas bahwa kegiatan tersebut dilarang dan tidak memiliki izin operasi produksi yang sah," tegasnya.

‎Namun, kegiatan pertambangan tetap dijalankan tanpa memperhatikan keselamatan dan kesehatan kerja (K3), yang akhirnya menyebabkan bencana longsor pada akhir Mei lalu, menewaskan belasan orang dan melukai banyak lainnya.

‎Dalam proses penyidikan, aparat kepolisian turut mengamankan sejumlah barang bukti berupa alat berat dan dokumen penting yang mendukung aktivitas tambang ilegal tersebut. Beberapa barang bukti yang disita antara lain Tiga unit dump truck berbagai merek (Isuzu, Mitsubishi, dan Hino). Empat unit ekskavator (Doosan dan CASE PC 200). Dokumen izin usaha pertambangan, surat larangan dan peringatan dari Dinas ESDM. Sertifikat kompetensi pertambangan serta surat penunjukan Kepala Teknik Tambang (KTT).

‎Atas tindakan kelalaiannya yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, para tersangka dijerat dengan berbagai pasal, antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian.

‎"Dari hasil gelar perkara, ditemukan unsur pidana yang sangat jelas. Kami telah melakukan pemeriksaan maraton terhadap para saksi dan tersangka. Ancaman pidananya bisa mencapai maksimal 15 tahun penjara," ungkapnya.

‎Polresta Cirebon menegaskan bahwa penyelidikan masih terus dikembangkan untuk mengungkap kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat, termasuk dugaan pembiaran oleh pihak-pihak terkait.

‎"Kami tidak akan berhenti sampai di sini. Pendalaman terus dilakukan untuk menuntaskan kasus ini dan memberi keadilan bagi para korban," pungkasnya.

Editor: redaktur

Komentar