Tridinews.com - Pemerintah mengingatkan agar industri di dalam negeri bersiap menghadapi dampak perang Iran-Israel. Eskalasi konflik militer disebut telah memicu gangguan signifikan di pasar global.
Sektor manufaktur menghadapi risiko kenaikan biaya produksi, peningkatan biaya logistik, dan pelemahan permintaan ekspor.
"Sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak harga energi dan pangan dunia, dan gangguan rantai pasok bahan baku," kata Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resmi, Selasa (17/6/2025).
Dia menambahkan, krisis tersebut juga memperlihatkan kerentanan terhadap rantai pasok global, terutama bagi industri manufaktur Indonesia.
"Rute perdagangan maritim kritis-termasuk Selat Hormuz, yang menangani 30% pengiriman minyak global, dan Terusan Suez, jalur bagi 10% perdagangan dunia-berisiko mengalami gangguan. Serangan baru-baru ini terhadap kapal komersial telah memaksa pengalihan rute melalui Tanjung Harapan di Afrika, menambah waktu pengiriman Asia-Eropa sebanyak 10-15 hari dan meningkatkan biaya kontainer sebesar 150-200%," jelasnya.
"Gangguan tersebut berdampak pada sejumlah sektor industri di Indonesia. Contohnya sektor otomotif dan elektronik, yang bergantung pada komponen impor untuk 65% produksinya, menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu-berpotensi menimbulkan kerugian ekspor sebesar $500 juta," beber Agus.
Juga, lanjutnya, industri tekstil dan alas kaki, salah satu penghasil ekspor utama, diperkirakan mengalami penyusutan marjin laba sebesar 5-7% akibat kenaikan biaya logistik. Hal ini kemudian mengurangi daya saing dibandingkan pesaing regional seperti Vietnam dan Bangladesh.
"Sektor nikel dan baja Indonesia, yang penting bagi transisi energi global, menghadapi kenaikan biaya transportasi batubara sebesar 15-20%. Dan penundaan pengiriman tiga hingga empat minggu, mengancam kerugian ekspor sebesar $1,2 miliar," paparnya.
Dia menambahkan, dampak langsung konflik Iran-Israel paling terlihat di pasar energi. Sebab, Timur Tengah sebagai penghasil minyak utama yang menyumbang hampir 30% produksi global. Hal ini membuat pasar waspada.
Jika produksi energi Iran yang mencapai 3,2 juta barel per hari terganggu, ujarnya, memicu gangguan pasokan. Sekaligus memicu fluktuasi harga energi dipasar internasional.
"Harga minyak Brent telah berfluktuasi antara $73 hingga $92 per barel pascaperang Iran-Israel, dengan analis memperingatkan potensi kenaikan 15-20% pada 2025. Volatillitas harga energi dunia ini juga semakin tinggi seiring dengan munculnya ancaman penutupan selat Hormuz yang telah menjadi urat nadi jalur
pasokan energi dunia," bebernya.
Karena itu, lanjut Agus, penting memitigasi risiko dampak perang Iran-Israel terhadap industri. Terutama ketergantungan industri dalam negeri pada energi impor sebagai bahan baku maupun komponen input produksi.
"Mitigasi juga dibutuhkan mengantisipasi gangguan pada rantai pasok global terutama pada rantai pasok bahan baku industri. Karena jalur logistik bahan baku dan produk ekspor industri melewati timur tengah yang sedang dilanda konflik terbuka saat ini," kata Agus.
Juga, sambungnya, sektor manufaktur harus memitigasi dampak perang Iran-Israel terhadap gejolak nilai tukar mata uang. Yang berakibat terhadap inflasi harga input produksi dan penurunan daya saing ekspor produk industri.
"Karena itu, industri dalam negeri diminta lebih efisien menggunakan energi dalam proses produksi. Penggunaan energi lebih efisien dari berbagai sumber dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing produk industri. Sekaligus mendukung kedaulatan energi nasional sebagaimana telah dicanangkan oleh Presiden Prabowo," cetusnya.
Dia juga mendorong pelaku industri agar mendiversifikasi sumber energi yang digunakan dalam produksi.
"Hal ini menjadi krusial mengingat ketergantungan pada energi fosil impor, terutama yang berasal dari kawasan Timur Tengah, semakin berisiko di tengah konflik geopolitik yang berkepanjangan," sebutnya.
"Industri nasional harus mulai mengandalkan sumber energi domestik, termasuk energi baru dan terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, serta memanfaatkan limbah industri sebagai bahan bakar alternatif," tukas Agus.
Agus juga mengingatkan urgensi hilirisasi produk agro, merespons dampak tidak langsung perang Iran-Israel terhadap ekonomi global.
"Konflik tersebut telah menyebabkan lonjakan biaya logistik internasional, mendorong inflasi global, dan memicu gejolak nilai tukar dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia," jelasnya.
""Ketiga faktor ini, logistik, inflasi, dan nilai tukar, secara langsung meningkatkan harga bahan baku dan produk pangan impor. Maka jawabannya adalah hilirisasi produk pangan dalam negeri. Industri kita harus mengambil peran dalam memproses hasil pertanian, perkebunan, perikanan dan kehutanan domestik agar tidak terus bergantung pada bahan baku pangan impor," tegas Agus.
Editor: redaktur