Tridinews.com - Biaya tarif impor 32 persen yang baru saja diterapkan Presiden Trump mulai dirasakan sejumlah eksportir gerabah keramik asal Kabupaten Purwakarta. Akibat kebijakan tersebut kontainer yang akan mengangkut gerabah tujuan Amerika tertahan.
Salah satu pelaku eksportir yang terdampak adalah Jajang Junaedi. Ia harus menunda pengiriman ke negara Amerika Serikat setelah Presiden Trump menerapkan tarif impor 32 persen untuk Indonesia.
"Pajak yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat itu kisaran 32 persen, eksportir manapun tidak kuat untuk itu karena harga itu lebih tinggi. Sementara kami jual lebih murah bahkan lebih mahal pajak dari pada barang ekspor, jadi ditunda sementara menunggu keputusan atau ada perkembangan lain dari Amerika," ujar Jajang ditemui di UPTD Litbang Keramik Plered, Jumat (11/07/2025).
Jajang menyebutkan, terhambatnya ekspor yang sudah berjalan tiga bulan terakhir ini, menyebabkan kerugian hingga ratusan juta Rupiah. Satu kali pengiriman kisaran Rp 200 juta perbulan.
"Kerugian kisaran, satu kirim Rp 200 juta dengan HPP Rp150 juta, berarti Rp50 juta keuntungan. Berarti udah ngendap sekarang nggak kirim tiga bulan, tinggal dua kali tiga, berarti Rp600 juta itu selama ini, ditunggu perkembangan itu 32 persen itu tidak masuk, jadi kalau kami turunkan harga itu tidak mungkin," katanya.
Jajang juga menyebut, bahwa bahan baku seperti cat yang digunakan sebagian diimpor, sehingga biaya produksi tidak bisa ditekan terlalu rendah. Meskipun ekspor ke Amerika saat ini terhenti, para pengrajin keramik Plered tidak sepenuhnya bergantung pada pasar ekspor.
Pasar lokal, terutama Bali dan beberapa wilayah lain di Indonesia, tetap menjadi tujuan utama pengiriman produk keramik, khususnya untuk jenis keramik tradisional dan interior.
Namun, ekspor tetap menjadi andalan bagi beberapa pelaku usaha. Untuk itu, para eksportir berharap adanya diplomasi perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat guna meredakan tekanan tarif ini.
"Kalau tidak ada perubahan signifikan, kami akan coba alihkan ekspor ke negara-negara Asia seperti Korea. Tapi volumenya tentu lebih kecil dibanding Amerika," kata Jajang.
Ia juga menyebut, ketimpangan daya saing dengan negara lain seperti Tiongkok dan Thailand yang sudah menggunakan sistem pabrikasi dan teknologi tinggi menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya pembuatan keramik Plered masih dikerjakan secara handmade.
"Kalau ingin bersaing, kami butuh dukungan nyata dari pemerintah, baik dari sisi subsidi maupun penguatan teknologi produksi," ucapnya.
Sementara itu, menurut Kepala UPTD Litbang Keramik Plered Mumun Maemunah, saat ini terdapat lima kontainer keramik yang seharusnya sudah dikirim ke Amerika namun masih tertahan.
"Produknya sebenarnya sudah layak ekspor, namun karena aturan baru dari Amerika, terutama soal pajak impor, pihak pembeli menunda pembayaran dan pengiriman," ucap Mumun.
Situasi ini, kata Mumun, membuat dua eksportir aktif di Plered belum bisa melanjutkan kegiatan ekspornya.
"Mereka masih menunggu kejelasan kebijakan dari pihak pembeli di Amerika, karena jika beban pajak ditanggung importir, maka akan berpengaruh ke harga jual dan harus dihitung ulang," imbuhnya.
Editor: redaktur