Kejagung: CEO Navayo International tersangka korupsi Satelit Kemhan

kejagung-ceo-navayo-international-tersangka-korupsi-satelit-kemhan . (net)

Tridinews.com - - Kejaksaan Agung resmi menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021, Gabor Kuti Szilard (GKS) ke dalam daftar pencarian orang (DPO).

Gabor yang merupakan warga negara Hungaria sekaligus CEO PT Navayo International AG itu telah masuk dalam DPO Kejagung sejak 22 Juli 2025.

"Benar, sudah dinyatakan DPO setelah yang bersangkutan dilakukan pemanggilan sebagai saksi sebanyak tiga kali tidak pernah hadir dan sudah dipanggil sebagai tersangka sebanyak 2 kali," kata Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna saat dikonfirmasi, Senin (22/9/2025).

Adapun Gabor diduga terlibat proyek pengadaan satelit yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, identitas Gabor termasuk tempat tanggal lahir serta kewarganegaraannya telah disebarluaskan pihak Kejaksaan Agung.

Dalam perkara ini Gabor diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat satu kesatu juncto Pasal 64 KUHP.

Selain Gabor, penyidik pada Jaksa Agung Bidang Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung telah menetapkan dua tersangka lainnya yakni Laksamana Muda TNI (Purn) L selaku Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan ATVDH selaku perantara.
Kronologi Kasus

Kasus korupsi pengadaan satelit di slot orbit 123 derajat bujur timur (BT) yang menjerat sejumlah pejabat dan pihak swasta bermula dari upaya Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI mengamankan slot orbit strategis milik Indonesia di luar angkasa.

Slot orbit 123° BT adalah salah satu slot orbit geostasioner yang dialokasikan kepada Indonesia oleh International Telecommunication Union (ITU). Jika tidak digunakan secara aktif, slot tersebut bisa dicabut dan diberikan ke negara lain.

Pada 2015, slot tersebut hampir hilang karena tidak diisi satelit aktif. Untuk mempertahankannya, Kemhan berinisiatif menyewa satelit, namun justru memunculkan persoalan hukum.

Kasus bermula ketika Kemhan, melalui tersangka LNR, menandatangani kontrak dengan tersangka GK pada Juli 2016.

Perjanjian tersebut terkait penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan dengan nilai awal 34.194.300 Dolar AS atau setara Rp 512,9 miliar (Rp15.000/USD), yang kemudian berubah menjadi 29.900.000 Dolar AS atau setara Rp 448,5 miliar (Rp15.000/USD).

Penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga, dilakukan tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa yang semestinya.

Keberadaan Navayo International AG merupakan rekomendasi dari tersangka ATVDH.

Navayo International AG mengakui telah melakukan pekerjaan berupa pengiriman barang kepada Kementerian Pertahanan RI.

Sebagai bukti prestasi pekerjaan tersebut, diterbitkan empat buah surat Certificate of Performance (CoP) atau sertifikat kinerja.

Surat-surat CoP ini disiapkan ATVDH tanpa dilakukan pengecekan terhadap barang yang dikirim terlebih dahulu, dan kemudian ditandatangani sejumlah pejabat dan tersangka LNR.

Diduga ada sejumlah penyalahgunaan wewenang dalam proyek tersebut sehingga negara mengalami kerugian sangat besar.

Tanpa anggaran dan tanpa payung hukum yang jelas, Kemhan melakukan kontrak penyewaan satelit Avanti Communications Limited (Avanti) dari Inggris, melalui perantara perusahaan swasta Navayo Technologies. Padahal, proyek ini tidak masuk dalam perencanaan anggaran nasional (APBN).

Tindakan tersebut mengakibatkan negara terikat kontrak internasional senilai ratusan miliar rupiah, padahal tidak ada satelit yang benar-benar digunakan sesuai tujuan. Akibatnya, Indonesia justru digugat arbitrase internasional dan mengalami kerugian besar.

Kasus dugaan korupsi proyek di Kemhan ini sendiri telah ditangani Kejagung sejak 2022. 

Direktur Penindakan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Militer (Jampidmil) Kejagung Brigadir Jenderal TNI Edy Imran  menyampaikan, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Kerugian (BPKP), total kerugian negara dari kasus ini mencapai Rp 500.579.782.789 atau Rp 500,5 miliar.

Atas perbuatannya, tersangka GK dijerat dengan pasal primer Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 KUHP.

Editor: redaktur

Komentar