Tridinews.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan ia membatalkan rencana pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Pembatalan ini terjadi karena kurangnya kemajuan dalam upaya diplomatik dan adanya kesan bahwa waktunya tidak tepat.
"Kami membatalkan pertemuan dengan Presiden Putin — rasanya tidak tepat bagi saya," kata Trump kepada para wartawan di Gedung Putih, Rabu (22/10/2025).
"Rasanya kami tidak akan sampai ke tempat yang seharusnya. Jadi saya membatalkannya, tetapi kami akan melakukannya di masa mendatang," lanjutnya.
Trump juga mengungkapkan rasa frustrasinya dengan negosiasi antara Rusia dan Ukraina yang mandek.
"Soal kejujuran, satu-satunya yang bisa saya katakan adalah, setiap kali saya berbicara dengan Vladimir, percakapan saya selalu lancar, dan setelah itu tidak ada kemajuan. Sama sekali tidak ada kemajuan," ujarnya.
Sebelumnya dalam komentar singkatnya, Trump mengatakan ia tidak ingin melakukan pertemuan yang sia-sia dan buang-buang waktu.
Sejak kembali menjabat di Gedung Putih pada Januari lalu, Trump mengatakan ia dapat mengakhiri perang Rusia dan Ukraina.
AS melakukan upaya diplomasi terhadap Rusia dan Ukraina dalam beberapa kali pertemuan, namun Trump menganggap Putin tidak serius untuk mengakhiri perang.
Rusia menuntut kesepakatan wilayah sebagai salah satu syarat untuk mengakhiri invasinya, yang ditolak oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
AS Beri Sanksi ke 2 Perusahaan Minyak Rusia
Pembatalan pertemuan ini terjadi ketika Gedung Putih mengumumkan sanksi baru yang menargetkan ekspor minyak Rusia, bagian dari upaya yang lebih luas untuk menekan Moskow atas operasi militernya yang berkelanjutan di Ukraina.
Departemen Keuangan AS mengatakan dua perusahaan minyak terbesar Rusia, Rosneft dan Lukoil, menjadi sasaran upaya untuk merusak kemampuan Rusia dalam mendanai mesin perangnya.
Trump mengatakan ia berharap tindakan tersebut hanya bersifat sementara.
"Hari ini adalah hari yang sangat penting dalam hal apa yang sedang kita lakukan. Sanksi-sanksi ini luar biasa besar. Sanksi-sanksi ini sangat besar," kata Trump saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte di Ruang Oval.
"Sanksi-sanksi ini ditujukan kepada dua perusahaan minyak besar mereka, dan kami berharap sanksi-sanksi ini tidak akan berlangsung lama. Kami berharap perang ini akan berakhir," lanjutnya, dikutip dari CNN.
Sanksi tersebut merupakan ancaman yang dilontarkan Trump beberapa bulan lalu untuk mendorong Rusia agar segera mengakhiri perangnya, menegaskan bahwa ini sudah waktunya Trump mewujudkan kata-katanya.
"Saya merasa sudah waktunya. Kita sudah menunggu lama," kata Trump ketika ditanya mengapa ia mengambil tindakan sekarang setelah berbulan-bulan ancaman dan penundaan.
Namun, Trump mengakui ia tidak yakin apakah sanksi baru tersebut akan mengubah sikap Rusia terhadap konflik Ukraina.
"Semoga dia (Putin) akan bersikap masuk akal, dan semoga Zelensky dari Ukraina juga akan bersikap masuk akal," ujarnya, dikutip dari Russia Today.
Sementara itu di Rusia, Kremlin merilis video yang memamerkan latihan militer yang dipimpin oleh Kepala Staf Umum Militer Rusia Valery Gerasimov.
Ia mengatakan Rusia menembakkan rudal dari peluncur darat, kapal selam, dan pesawat, termasuk senjata balistik antarbenua dalam latihan tersebut.
Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pesawat pengebom strategis jarak jauh Tu-22M3 miliknya terbang di atas Laut Baltik, dikawal di berbagai titik oleh jet tempur dari negara asing.
Lebih dari tiga tahun, Rusia meluncurkan invasinya ke Ukraina setelah Putin memerintahkan "operasi militer khusus" untuk alasan keamanan nasional.
Putin juga menggunakan alasan lainnya seperti klaim "genosida" oleh rezim Ukraina terhadap penduduk Donetsk dan Luhansk, demiliterisasi, dan "denazifikasi" Ukraina untuk membenarkan invasinya.
Perang ini berakar dari ketegangan Rusia dan Ukraina selama bertahun-tahun setelah pecahnya Uni Soviet pada tahun 1991.
Rusia berupaya mempertahankan pengaruhnya yang besar terhadap Ukraina, namun negara tetangganya itu mulai menunjukkan kedekatannya terhadap negara Barat seperti AS dan anggota NATO.
Ukraina bahkan berupaya untuk bergabung dengan NATO, yang sangat ditentang oleh Rusia karena mengancam keamanannya.
Selama perangnya melawan invasi Rusia, Ukraina mendapat bantuan militer dari negara-negara Barat.