Tridinews.com - Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dari semula Rp 50 miliar menjadi hanya Rp 3 milyar menjadi indikasi model kepemimpinan yang antikritik. Menurutnya, dengan memangkas anggaran media, KDM seperti ingin 'mematikan' keberadaan media-media yang selama ini turut mendukung pembangunan di Jabar.
"Sikap seperti ini tidak mencerminkan pemimpin yang adil. KDM lebih memilih memanfaatkan medsos untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, dibanding memanfaatkan media-media yang selama ini menjadi mitra kerja pembangunan di Jabar," kata Budi Mulia, Ketua Aliansi Jurnalis Video (AJV), Rabu (30/4/2025).
Media sosial yang notabene adalah platform milik asing, memang memiliki jangkauan cukup luas. Namun sifatnya yang subjektif tidak memberikan ruang untuk sebuah informasi yang berimbang.
"Keberadaan konten sangat subjektif, dan tidak berimbang. Sehingga masyarakat tidak menerima informasi secara utuh dan berimbang. Tidak ada ruang kritis didalamnya. Dan ini berbahaya bagi perkembangan demokratis di Jabar," jelas Budi.
Budi pun turut menyoroti sikap dan gagasan KDM yang dinilai mengedepankan ke arifan lokal. Namun, platform atau media yang digunakan KDM untuk menyampaikan pesan dan gagasan tidak menunjukkan nilai kearifan lokal.
"KDM itu kan dikenal sebagai orang yang memprioritaskan kearifan lokal ya. Tapi sayangnya, media atau platform yang beliau gunakan ini tidak menunjukkan kearifan lokal. KDM sekarang kalau ingin menyampaikan sesuatu pasti melalui medsos seperti Instagram, Youtube, dan Tiktok. Itu kan media yang dibuat dari luar, bukan media bikinan nasional," jelas Budi.
Kemudian dijelaskan lagi, bahwa kearifan lokal yang dimaksud adalah KDM lebih mengakui platform luar yang bisa meng"viral"kan semua kegiatannya namun dampak yang terjadi adalah anggaran daKemudian dijelaskan lagi, bahwa kearifan lokal yang dimaksud adalah KDM lebih mengakui platform luar yang bisa meng"viral"kan semua kegiatannya namun dampak yang terjadi adalah anggaran dari para pelaku usaha untuk berinvestasi berpindah dari media lokal ke media "Asing" sehingga banyak media lokal yang mati suri akibatnya karena dampak pendapatan yang semakin berkurang, Dan KDM selaku pemangku kebijakan/pemerintah malah ikut dalam "Mematisurikan" media media lokal yang ada.
Tak hanya itu, Budi juga mengungkapkan dengan adanya efisiensi anggaran media, maka akan semakin sedikit media massa di Jawa Barat yang mempromosikan pembangunan di Jabar.
"Efisiensi itu memang patut dijalankan dan saya mengapresiasi hal tersebut, namun Efisiensi yang dilakukan hendaklah berbentuk evaluasi efektifitas penggunaan kerja sama dengan media yang lebih tepat, jadi bukan hanya sekedar memotong anggaran dengan dalih efisiensi" imbuhnya.
Disisi lain, tambah Budi, keberadaan media sosial yang selama ini dimanfaatkan KDM untuk menyampaikan berbagai kebijakannya, melahirkan pro kontra di masyarakat yang berpotensi menciptakan segregasi sosial.
"Konten-konten yang dibuat KDM di medsos tidak sedikit yang mengundang pro-kontra di masyarakat. Karena ada gap informasi yang berujung pada keretakan sosial," kata Budi.
Saat ini interaksi netizen diruang medsos sudah mulai saling hujat antara kelompok pro dengan yang kontra. Kondisi ini akan semakin mengkristal, tidak hanya di dunia maya, tetapi dalam ruang sosial masyarakat Jawa Barat.
Dengan kata lain, KDM tidak bisa menafikan keberadaan media massa, dalam menyampaikan kebijakan dan informasi pembangunan. Sebab keberadaan media-media tersebut dapat menyaring dan menyajikan informasi yang lebih berimbang.
"Keberadaan media massa terikat oleh kode etik, sehingga lebih arif dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Berbeda dengan media sosial yang tanpa kontrol," tambahnya.
Untuk itu, Budi berharap kebijakan pemangkasan anggaran tersebut kembali dipikirkan. Tidak hanya berpotensi 'mematikan' keberadaan media massa, tetapi juga berpotensi pemerintahan Jawa Barat berjalan tanpa kontrol masyarakat.
"Jabar Istimewa idealnya berdiri diatas transparansi dan demokrasi dalam pemerintahannya. Dan itu dapat dibangun dengan memberdayakan media massa sebagai mitra pembangunan" pungkasnya.
Editor: redaktur