Tridinews.com - Pelaku usaha 'teriak' soal banyaknya hari libur, yang juga dipicu oleh adanya kebijakan cuti bersama. Hal ini lantaran para pelaku usaha perlu tetap membayarkan upah secara penuh kepada pegawai, tapi produktivitas menurun seiring bertambahnya hari libur.
Pelaku usaha menilai pemerintah juga perlu mengkaji regulasi soal hari kerja, bukan hanya hari libur. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Bob Azam, mengatakan bahwa pemerintah mungkin beranggapan libur panjang dapat 'menghidupkan' banyak orang. Padahal, menurut Bob, produktivitas secara nasional justru terganggu.
"Mungkin pemerintah beranggapan libur panjang itu akan menghidupkan banyak orang. Tapi di lain sisi, membuat implikasi terjadinya infesiensi, gangguan di sektor logistik. Yang lebih parah lagi, produktivitas kita secara nasional juga terganggu," kata Bob dikutip dari detikcom pada Jumat (16/5/2025).
Bob mengomparasikan jam kerja di Indonesia dengan negara lain seperti Amerika Serikat (AS), Jepang, dan Thailand. Jika dijumlah dalam setahun, total jam kerja pegawai di Indonesia berkisar di angka 1.900 jam, sedangkan di negara lain yang ia sebutkan sebelumnya itu bisa berada di angka lebih dari 2.000 jam dalam setahun.
"Jadi, praktis setahun itu kita bekerja kurang dari 1.900 jam. Negara lain seperti Amerika, bisa sampai 2.000 jam lebih dalam setahun. Bayangkan kalau libur kita lebih banyak, berapa jam kerja yang hilang. Di negara lain itu, jam kerjanya yang dipastikan. Kalau di kita 'kan hari libur saja yang dipastikan (fix). Sampai tiga menteri pula yang tanda tangan. Tapi soal hari kerja, sepertinya tidak ada menteri yang peduli soal jumlah hari kerja," beber Bob.
Bob mengelaborasi lebih lanjut, salah satu dampak konkret terganggunya sektor usaha yakni di sektor logistik. Sejumlah barang tertahan di pelabuhan lantaran kapal tidak dapat melakukan aktivitas bongkar-muat dipicu hari libur yang terlalu lama, kata Bob.
"Bahkan kita bisa lihat itu yang di Tanjung Priok yang kapan hari itu, itu stuck, karena libur yang terlalu lama. Sehingga pengiriman berlangsung bersamaan. (Sektor lain yang terdampak) di semua produksi. Kalau hari liburnya banyak, 'kan berarti jumlah hari produksinya turun," tambah Bob.
Bob menegaskan bahwa pemerintah perlu mengkaji ulang regulasi soal cuti bersama. Ia bilang, pihaknya pernah menyampaikan hal ini ke pemerintah, namun tak kunjung didengar.
"Kita seringkali dilibatkan, tapi suara kita banyak tidak didengar. Mengenai libur Lebaran yang sudah panjang-lebar kita sampaikan, tapi tidak didengar juga. Jadi, usulan kita, setahun itu kita harus memastikan berapa jumlah hari kerjanya, apakah 255 hari kerja, atau 250 hari kerja," bebernya.
"Di negara lain misal ke China, mereka juga ada Lunar New Year. Di Thailand juga ada Songkran. Di Jepang juga ada Golden Week. Semua punya hari besar, tetapi sebelum mereka libur panjang yang berturut-turut, mereka masuk kerja dulu. Jadi kelihatan bahwa mereka punya konsep jumlah hari kerja itu tidak boleh berkurang," Bob menutup.
Editor: redaktur