Tridinews.com - Pengusaha serat dan benang merespons pernyataan Komisis Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terkait pengenaan instrumen perdagangan, Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas benang filamen impor dari China.
KPPU dalam surat resmi kepada Menteri Perdagangan (Mendag) mengingatkan, BMAD berpotensi mengganggu iklim persaingan usaha yang sehat dan merugikan industri hilir.
Saat ini, rencana pengenaan BMAD atas filamen impor asal China itu dalam proses finalisasi. Rencananya, instrumen perdagangan itu akan dikenakan karena barang asal China diduga melalukan praktik predatory pricing alias dumping.
Karena itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai pernyataan KPPU sebagai hal yang aneh.
"Agak aneh memang, ini kan KADI sudah ada bukti dumping dari barang impor China. Hanya China loh, bukan semua negara," katanya kepada wartawan, Selasa (27/5/2025).
Padahal, imbuh dia, dumping adalah praktik persaingan yang tidak sehat. Dan, sambungnya, telah terbukti membuat industri di Tanah Air sampai injury, bahkan ada yang tutup.
"Harusnya KPPU kan bertanggung jawab untuk mencegah iklim usaha tidak sehat ya. Ini kok malah KPPU ingin memelihara iklim usaha tidak sehat. Jadi agak aneh, jadi seperti terbalik," tukasnya.
"Harusnya iklim usaha kan dilindungi dari praktik usaha tidak sehat. Dan tugas mereka melakukan penindakan atas praktik usaha tidak sehat," ucapnya.
"Ini semuanya kan informasi yang masuk KPPU katanya-katanya. Kalau KADI jelas, sudah ada penyelidikan. Penyelidikannya juga kan berdasarkan aturan PP No 34/2011 (tentang Tindakan Antidumping Tindakan Imbalan Dan Tindakan Pengamanan Perdagangan) dan aturan di WTO," bebernya.
"DTY (Drawn Textured Yarn) warna produsennya ada 3, sudah kita sampaikan ke KPPU. Tinggal KPPU cek lapangan saja. Jangan katanya-katanya," cetusnya.
Untuk Partially Oriented Yarn (POY), lanjutnya, sebelumnya ada 10 produsen yang memasok ke pasar. Di mana, 7 di antaranya memaspk dalam jumlah besar.
"Sekarang yang suplai ke pasar dengan jumlah besar hanya tinggal 2. Yang lain turun produksi dan sebagian tutup karena praktik dumping," ungkapnya.
"Praktik dumping ini kan predatory pricing. Karena mereka menjual di Indonesia lebih murah dibandingkan mereka jual di China, sudah dibuktikan KADI. Harusnya KPPU ikut menindak praktek dumping ini," kata Redma.
Terpisah, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman mengatakan, selama ini importir pedagang termasuk yang berkamuflase sebagai importir produsen kerap menentang kebijakan substitusi impor. Akibatnya, sektor TPT terus bergantung pada bahan baku hingga produk jadi impor.
"Kelompok ini selalu mencari keuntungan tanpa memikirkan kelanjutan industri ke depan secara ekosistem yang sudah terintegrasi ini," katanya dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (27/5/2025).
"Maraknya praktik impor menyebabkan banyak perusahaan yang bangkrut dan mem-PHK karyawannya. Padahal, industri tekstil ini dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak jika dilindungi," tukasnya.
Nandi menambahkan, praktik dumping yang terjadi dan menyerbu pasar Indonesia sudah keterlaluan.
"Di luar nalar. Ke depan kain dan pakaian jadi pun harus dikenakan anti dumping" ucap Nandi. Bukannya kita tidak bisa bersaing. Asalkan bersaing secara
sehat, kita pasti bisa. Tapi kalau bersaing dengan cara dumping kan tidak betul," pungkasnya.
Sebelumnya, KPPU menyoroti kebijakan pemerintah mengenakan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas produk benang gilamen sintetik impor asal China. Lewat surat resmi, KPPU menyampaikan rekomendasi kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait BMAD itu.
"Dalam surat resmi bertanggal 16 Mei 2025 pada Menteri Perdagangan, KPPU menekankan bahwa kebijakan tersebut berpotensi mengganggu iklim persaingan usaha yang sehat dan merugikan industri hilir," kata Direktur Kebijakan Persaingan pada Sekretariat Jenderal KPPU Lelyana Mayasari dalam keterangan resmi, dikutip Selasa (27/5/2025).
Disebutkan, pengenaan BMAD ada filamen impor dari China bermula dari hasil penyelidikan Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) sejak tahun 2023 guna menyusun kebijakan anti dumping produk benang filamen sintetik tertentu. Yang kemudian menyimpulkan adanya praktik dumping oleh produk asal China.
"KPPU menilai cakupan produk dalam kebijakan anti dumping terlalu luas. Sebagian produk yang akan dikenai BMAD tidak diproduksi di dalam negeri, namun tetap tercakup dalam pengenaan bea masuk. Hal ini dikhawatirkan dapat membatasi pilihan produk bagi penggunanya," kata Lelyana.
"Analisis juga menunjukkan, pasar benang filamen domestik saat ini sangat terkonsentrasi. Beberapa segmen utama hanya dikuasai oleh satu atau dua pelaku usaha. Misalnya, segmen Partially Oriented Yarn (POY) dan Spin Drawn Yarn (SDY) masing-masing hanya memiliki satu produsen aktif. Segmen Drawn Texture Yarn (DTY) warna pun hanya dipasok oleh satu pelaku usaha dengan kapasitas terbatas," ujarnya.
KPPU lalu merekomendasikan Kemendag dan KADI mengevaluasi kembali rencana kebijakan BMAD tersebut.
Editor: redaktur