Tridinews.com - Rencana Kabinet Keamanan Israel baru-baru ini untuk mengambil alih Gaza City menuai kecaman dari dalam dan luar negeri. Banyak pihak menyatakan keputusan tersebut melanggar hukum internasional, memperburuk krisis kemanusiaan di Gaza, dan merusak upaya untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata.
Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Jumat (8/8) bahwa Kabinet Keamanan telah menyetujui rencana untuk mengambil alih kota terbesar di wilayah kantong tersebut, dan bahwa Pasukan Pertahanan Israel (Israel Defense Forces/IDF) akan mempersiapkan pengambilalihan sambil mendistribusikan bantuan kemanusiaan kepada warga sipil di luar zona pertempuran.
Menyusul pengumuman tersebut, pemimpin oposisi Israel Yair Lapid menulis unggahan di media sosial bahwa keputusan tersebut adalah "bencana yang akan berujung pada banyak bencana lainnya."
Keputusan ini akan menyeret Israel "ke dalam langkah yang akan memakan waktu berbulan-bulan, berujung pada kematian sandera Israel, pembunuhan banyak tentara, menghabiskan biaya besar dari pajak warga Israel, dan menyebabkan keruntuhan politik," tulis Lapid.
Forum Keluarga Sandera dan Orang Hilang, sebuah organisasi yang bermarkas di Tel Aviv, mengatakan dalam pernyataannya bahwa keputusan tersebut, yang sepenuhnya mengabaikan "keinginan nyata mayoritas masyarakat Israel," akan menjerumuskan Israel "ke dalam bencana luar biasa."
"Pemerintah Israel telah menghukum mati sandera yang masih hidup dan menghapus jejak sandera yang tewas," katanya, menambahkan bahwa satu-satunya cara untuk mengembalikan sandera adalah melalui kesepakatan komprehensif, "bukan perang sia-sia lainnya."
Sementara itu, kepresidenan Palestina mengatakan keputusan Israel "mewakili kelanjutan kebijakan genosida, pembunuhan sistematis, kelaparan dan pengepungan, serta pelanggaran terang-terangan terhadap hukum kemanusiaan internasional dan resolusi legitimasi internasional. Pemerintah Israel, yang didorong oleh ideologi ekstrem atau kepentingan pribadi yang picik, tidak menyadari tingkat isolasi internasional yang dihadapinya akibat kekukuhannya dalam "perang genosida," kata Gheit.
Hal ini juga akan "menyebabkan malapetaka kemanusiaan yang belum pernah terjadi sebelumnya" di wilayah kantong tersebut, kata kepresidenan seperti dikutip oleh kantor berita resmi Palestina, WAFA.
Hamas dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa rencana Israel tersebut "merupakan kejahatan perang baru," yang mencerminkan "pembatalan jalur negosiasi secara nyata" dan mengungkap "motif sesungguhnya di balik penarikan diri (Netanyahu) dari putaran akhir."
Dalam sebuah unggahan di platform media sosial X, Kementerian Luar Negeri Yordania mengatakan keputusan tersebut merupakan "kelanjutan dari pelanggaran serius Israel terhadap hukum internasional dan hukum kemanusiaan internasional, perusakan nyata terhadap solusi dua negara serta hak rakyat Palestina yang tidak dapat diganggu gugat untuk mendirikan negara merdeka mereka" di sepanjang perbatasan 1967, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Keputusan ini juga "merupakan perpanjangan dari kebijakan ekstremis pemerintah Israel yang menggunakan kelaparan dan pengepungan sebagai senjata terhadap rakyat Palestina, serta persistensinya dalam menargetkan objek sipil, rumah sakit, dan sekolah secara sistematis," kata kementerian tersebut, menambahkan bahwa hal ini merusak upaya global untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata dan mengakhiri penderitaan kemanusiaan di Gaza.
Kementerian Luar Negeri Turkiye dalam pernyataannya mengatakan bahwa langkah Israel "menandai fase baru dari kebijakan ekspansionis dan genosida di kawasan tersebut."
Keputusan itu merupakan "pukulan berat bagi perdamaian dan keamanan internasional, memperburuk ketidakstabilan regional, dan semakin memperdalam krisis kemanusiaan" di Gaza, katanya, seraya menambahkan bahwa Israel "harus segera menghentikan rencana perang, menyetujui gencatan senjata di Gaza, dan memulai negosiasi menuju solusi dua negara."
Dalam pernyataan yang diunggah di X, Kementerian Luar Negeri Kuwait mengatakan keputusan itu "menghancurkan peluang tercapainya solusi dua negara dan menghalangi pembentukan negara Palestina merdeka di perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya."
Kementerian itu menyerukan "penghentian praktik-praktik tidak manusiawi, memastikan masuknya bantuan kemanusiaan dengan segera dan memadai ke Jalur Gaza, serta menghentikan kebijakan kelaparan dan pembersihan etnis."
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Mesir menyebut langkah itu sebagai upaya untuk mengukuhkan "pendudukan ilegal Israel atas wilayah Palestina," melanjutkan "perang genosida" di Gaza, menyingkirkan semua "landasan kehidupan" bagi rakyat Palestina, serta merusak hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan membentuk negara merdeka.
Keberlanjutan kebijakan Israel yang secara sistematis menerapkan kelaparan, pembunuhan, dan "genosida" terhadap rakyat Palestina yang tidak bersenjata hanya akan memperburuk konflik, mengeskalasi ketegangan, serta memperdalam kebencian serta ekstremisme di kawasan tersebut, menurut pernyataan itu.
Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa langkah tersebut mencerminkan niat Israel untuk sepenuhnya menduduki Gaza sejak awal perang dan menghancurkan perjuangan Palestina.
Pemerintah Israel, yang didorong oleh ideologi ekstrem atau kepentingan pribadi yang picik, tidak menyadari tingkat isolasi internasional yang dihadapinya akibat kekukuhannya dalam "perang genosida," kata Gheit
Sementara itu dalam sebuah pernyataan, Arab Saudi dengan tegas mengecam rencana Israel untuk mengambil alih Gaza City, serta "kekukuhannya dalam melakukan kejahatan kelaparan, praktik brutal, dan pembersihan etnis" terhadap rakyat Palestina.
"Ide dan keputusan tidak manusiawi yang diadopsi tanpa ragu oleh otoritas pendudukan Israel menegaskan kegagalan mereka untuk memahami ikatan emosional, historis, dan hukum rakyat Palestina terhadap tanah ini dan hak mereka atasnya, berdasarkan hukum internasional dan prinsip-prinsip kemanusiaan," bunyi pernyataan tersebut.
Empat kematian baru akibat kelaparan dan malanutrisi tercatat di Gaza dalam 24 jam terakhir, sehingga total korban tewas akibat hal tersebut sejak Oktober 2023 mencapai 201 orang, termasuk 98 anak-anak, kata otoritas kesehatan di Gaza pada Jumat.
Otoritas itu mengatakan pada hari yang sama bahwa sedikitnya 9.824 warga Palestina tewas dan 40.318 lainnya terluka sejak Israel memperbarui serangan intensif pada 18 Maret, sehingga total korban tewas sejak Oktober 2023 menjadi 61.330 orang, dengan 152.359 lainnya terluka.
Rencana pencaplokan seluruh Gaza oleh Israel dikecam dunia
.jpg)