Tridinews.com - Liborius Kodai Moiwend, warga Kampung Wogekel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, menjadi salah satu saksi dalam sidang perkara nomor 112/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (22/9/2025).
Ia hadir untuk menyampaikan kesaksian sebagai warga terdampak Program Lumbung Pangan Nasional (Food Estate), bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).
Di hadapan majelis hakim, Liborius menceritakan bagaimana proyek PSN mulai masuk ke kampungnya pada 12 Agustus 2024 tanpa pemberitahuan atau dialog dengan masyarakat adat.
“PSN masuk tanpa pernah duduk bersama tuan-tuan dusun. Mereka datang seperti pencuri, masuk ke dusun saya tanpa permisi,” ujar Liborius dalam sidang di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta.
Menurutnya, kehadiran proyek tersebut justru merusak hutan, rawa, dan lahan yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga.
Upaya protes berupa pemalangan tak membuahkan hasil, bahkan pembukaan lahan dilakukan dengan pengawalan aparat TNI.
“Tanah yang kami jaga dibongkar. Dulu kami bisa berburu, cari ikan, babi, rusa, sahang. Sekarang semua hilang. Kami bingung mau biayai anak pakai apa,” tuturnya.
Saksi Pemerintah: PSN Bawa Manfaat
Dalam sidang yang sama, dua saksi dari pihak pemerintah menyampaikan pengalaman berbeda terkait dampak PSN.
Syamsuddin, warga terdampak relokasi proyek Rempang Eco City, mengaku awalnya menolak dan ikut demonstrasi.
Namun setelah menerima rumah, tanah, dan sertifikat hak milik, ia menilai proyek tersebut membawa kesejahteraan.
“Awalnya saya menolak dan ikut demo. Tapi setelah relokasi, masyarakat jadi lebih sejahtera,” katanya.
Saksi lainnya, Mohammad Utsman, menuturkan bahwa PSN Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Gresik memberikan dampak ekonomi positif.
Banyak warga mendapat pekerjaan dan membuka usaha baru.
“Ada yang jadi petugas keamanan, buka warung makan, usaha kos-kosan, bahkan beli mobil untuk antar-jemput karyawan. Keluarga saya juga ikut merasakan manfaatnya,” ujar Utsman.
Dalil Para Pemohon
Perkara ini diajukan oleh 21 pemohon, terdiri dari individu dan perwakilan organisasi masyarakat sipil serta lingkungan hidup.
Mereka menyoroti sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan kemudahan dan percepatan PSN.
Para pemohon berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 3 huruf d UU Cipta Kerja telah menggerus prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Mereka menilai norma tersebut kabur karena memuat frasa seperti “penyesuaian berbagai peraturan” dan “kemudahan dan percepatan” tanpa batasan operasional yang jelas.
Hal ini dianggap membuka ruang bagi pembajakan kepentingan politik tertentu dan menutup partisipasi publik yang bermakna.
Selain itu, sejumlah pasal lain seperti Pasal 123 angka 2, Pasal 124 angka 1 ayat (2), Pasal 173 ayat (2) dan (4), serta Pasal 31 ayat (2) juga dipersoalkan karena dinilai membajak konsep kepentingan umum dan hak menguasai negara sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945.
Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.