Tridinews.com - Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan tidak akan memberlakukan penarikan pajak pedagang di lokapasar atau e-commerce, dalam waktu dekat.
Purbaya pun menyangkal isu penarikan pajak toko online mulai berlaku mulai Februari 2026.
Penegasan ini sekaligus menjadi klarifikasi atas pernyataan Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, yang sebelumnya sempat menyulut spekulasi publik.
Dalam sebuh momen, Bimo mengatakan pemerintah memang berencana akan menerapkan pajak e-commerce.
Namun, kebijakan tersebut ditunda hingga Februari 2026.
"Februari 2026 (penundaannya)," kata Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Namun kata Purbaya, pemerintah bakal menerapkan pajak e-commerce apabila situasi ekonomi negara membaik, setidaknya jika ekonomi tumbuh enam persen.
Untuk itu, para pelaku usaha digital dan masyarakat tak perlu gusar berlebihan.
"Enggak (tidak diterapkan pada 2026). Kan saya menterinya," ujar Purbaya usai menghadiri Investor Daily Summit 2025 di Jakarta, Kamis (9/10/2025) dilansir dari Kompas.com.
Purbaya menilai saat ini kondisi ekonomi Indonesia memang sudah membaik, tetapi belum sepenuhnya kuat.
"Mungkin kita sudah akan recover. Tapi belum recover fully, kan."
"Let's say ekonomi tumbuh 6 persen atau lebih. Baru saya pertimbangkan (realisasi pajak e-commerce). Jadi menterinya saya," tegas Purbaya.
Sebelumnya, Purbaya juga pernah menjelaskan penundaan kebijakan yang dibuat Menteri Keuangan sebelumnya Sri Mulyani ini menunggu efek dari kucuran dana ke bank himpunan bank milik negara (himbara).
Jumlah kucuran yang diberikan pemerintah mencapai Rp 200 triliun ke perbankan.
Dana ini berasal dari uang pemerintah yang disimpan di Bank Indonesia.
“Kami tunggu dulu, paling tidak sampai kebijakan uang Rp200 triliun, kebijakan untuk mendorong perekonomian mulai kelihatan dampaknya,” ujar Purbaya di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2025).
Purbaya mengatakan, baru akan mengambil keputusan setelah melihat dampak dari penempatan dana ke perbankan.
Karena itu, hingga saat ini pemerintah masih belum menunjuk marketplace apa saja untuk memungut pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen.
Purbaya menuturkan, pemerintah masih akan melihat kondisi perekonomian di dalam negeri sebelum memutuskan untuk menunjuk para marketplace memungut pajak dari para pelapak.
“Jadi, kami nggak ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi masuk ke sistem perekonomian. itu belum kami diskusikan,” tutur Purbaya.
Namun, ia memastikan sistem di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sudah siap untuk menjalankan kebijakan tersebut.
"Tapi yang jelas sistemnya sudah siap sekarang," ujar Purbaya.
Kebijakan Diteken Sri Mulyani
Diketahui, kebijakan penerapan pajak e-commerce telah diteken sejak Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan.
Kebijakan tersebut diteken oleh Sri Mulyani melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 pada 11 Juni 2025 dan diundangkan pada 14 Juli 2025 untuk menunjuk lokapasar sebagai Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) untuk memungut pajak dari pedagang daring.
Pokok pengaturan mencakup mekanisme penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang (merchant) dalam negeri.
Dalam pelaksanaannya, pedagang diwajibkan menyampaikan informasi kepada pihak marketplace sebagai dasar pemungutan.
Adapun tarif pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen, yang dapat bersifat final maupun tidak final.
Pedagang wajib menyertakan invoice sebagai dokumen bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh unifikasi.
Selain itu, pedagang juga memiliki kewajiban untuk menyampaikan informasi kepada DJP Kemenkeu.