Populisme 'Bapak Aing' dan Politisasi Anggaran

populisme-bapak-aing-dan-politisasi-anggaran . (net)

Tridinews.com - Hari-hari ini warga Jawa Barat tengah menikmati kebanggaan memiliki Gubernur yang sat set dalam menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat. Spirit 'pok, pek, prak' tampaknya tengah diperankan dengan baik oleh Gubernur Jabar terpilih Dedi Mulyadi yang karib disapa KDM. 

Sejak dilantik menjadi Gubernur, bahkan sebelumnya dan jauh sebelum pilkada 2024, KDM kerap menampilkan aksinya sebagai pejabat publik dengan cepat dan lugas  menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul di masyarakat. Aksi ini kemudian di-posting di media sosial dan mendapatkan apresiasi dari masyarakat luas. Tak terkecuali masyarakat diluar Jawa Barat. 

Diakui atau tidak KDM memainkan politik populisme untuk mendongkrak popularitasnya di mata masyarakat Jabar khususnya yang menjadi konstituen. Menukil Cas Mudde (2007), pola strategi politik populisme kontemporer menggunakan “logika media" (media logics) yang menegaskan aspek personalisasi, emosionalisasi dan sifat anti-kemapanan dalam memenangkan dukungan konstituen.

Strategi tersebut berdampak positif bagi popularitas KDM hingga melahirkan istilah 'Bapak Aing'. 'Bapak Aing', tidak hanya sekedar menggambarkan gaya komunikasi politiknya yang blak-blakan, lugas dan tegas, tetapi juga merepresentasikan  kedekatan emosional dengan rakyat. Dan itu dibuktikan dengan kemenangan KDM dalam kontestasi Pilkada 2024  raihan suara diatas 60%.

'Jebakan' Populisme

Sebagai  politisi yang harus mempertahankan citra 'Bapak Aing', KDM dituntut untuk memainkan perannya sebagai Kepala Daerah yang tegas, lugas dan cepat memberikan solusi terhadap berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat. 

Dengan kata lain, sebagai kepala daerah yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan anggaran, KDM berpotensi melakukan politisasi anggaran untuk kepentingan citra politiknya. Dan tanda-tanda ini dapat dicermati dari beberapa kebijakan anggaran  yang spontanis, tanpa perencanaan dan proses yang transparan. Seperti kebijakan pembangunan seribu rumah apung di Bekasi senilai Rp 40 miliar atau bantuan keuangan bagi warga Sukahaji, kota Bandung dan beberapa kebijakan lainnya yang melibatkan keuangan daerah.

Kebijakan-kebijakan tersebut tentu membantu meringankan beban masyarakat. Namun persoalannya, apakah kebijakan-kebijakan tersebut sesuai prinsip-prinsip good governance?

Good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik pada dasarnya merupakan suatu konsep pemerintahan yang membangun serta menerapkan prinsip profesionalitas, demokrasi, transparansi, efisiensi, akuntabilitas, efektivitas, pelayanan prima, serta bisa diterima oleh seluruh masyarakat (Anggara, 2012).

Itu artinya, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah harus demokratis, efisien, efektif, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui upaya ini diharapkan dapat tercipta pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tanpa proses perencanaan yang baik, demokratis dan transparan cenderung tidak dapat dipertanggungjawabkan dan rawan korupsi.

Dengan kata lain, sebagai kepala pemerintah di Jawa Barat, KDM jangan terlalu disibukan dengan politik populismenya, tetapi juga berkewajiban untuk menciptakan birokrasi yang bersih dan transparan dalam tata kelola pemerintahan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat di masa mendatang. 

Kepemimpinan Antikritik

Tidak hanya berpotensi terjadinya politisasi anggaran, populisme juga memungkin seorang pemimpin menjadi anti kritik. Seolah populisme 'mewajibkan' tanpa noda dan cela. Ini memungkinkan terjadinya upaya pembungkaman terhadap kontrol sosial.

Seperti yang terjadi dalam kepemimpinan KDM, dimana anggaran  untuk media massa dipangkas dari semula Rp50 miliar menjadi hanya Rp3 miliar. Padahal selama ini, keberadaan media massa menjadi mitra strategis pembangunan Jawa Barat.

Dengan kata lain, tampaknya KDM ingin 'membungkam' media massa, terutama yang kritis, dan lebih menonjolkan media sosial yang narasinya dapat dibangun sesuai kepentingannya.

Editor: redaktur

Komentar