Marak Kekerasan Terhadap Jurnalis, Perlu SOP Perlindungan

marak-kekerasan-terhadap-jurnalis-perlu-sop-perlindungan . (net)

Tridinews.com - Kekerasan dan teror yang kerap dialami para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya, menjadi perhatian serius Dewan Pers. Oleh karenanya penting untuk menyusun standar operasional prosedur (SOP) di lingkungan redaksi untuk menjamin perlindungan terhadap jurnalis, khususnya perempuan. 

Hal ini disampaikannya menanggapi maraknya teror dan kekerasan digital terhadap pekerja media.

"Ya, pertama perlu satu etika sosial yang jelas. Di berbagai negara maju, misalnya soal SARA, doxing, penghinaan individu, itu tegas aturannya," kata Ketua Dewan Pers Komaruddin Hidayat saat ditemui awak media di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Rabu (14/5/2025).

Menurutnya, kebebasan berekspresi tidak boleh dilepaskan dari tanggung jawab sosial. Pemerintah pun dinilai perlu lebih konsisten melindungi ruang publik dari serangan yang tidak beretika, baik melalui media sosial maupun media massa.

“Jadi, kebebasan silakan, tapi hendaknya tahu etika, tahu batas. Pemerintah juga harus konsekuen melindungi kepentingan publik,” ujarnya.

Dia juga menyoroti semakin banyaknya konten digital yang justru tidak memberi nilai edukatif, tetapi justru laris karena mengedepankan sensasi. Dalam situasi ini, ia mendorong agar insan pers ikut aktif menegakkan etika sosial dan memperkuat literasi publik.

"Mestinya para insan pers sendiri bisa ikut menegakkan etika sosial," pungkas Komaruddin.

Berdasarkan data Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) sebanyak tujuh jurnalis perempuan menjadi korban dari total 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Adapun sepanjang Januari hingga Maret 2025 terdapat lima jurnalis dari 23 kasus kekerasan.

Pada 2024 mayoritas pelaku kekerasan merupakan polisi sebanyak 19 kasus, 11 kasus oleh TNI, 11 kasus warga, sepuluh kasus orang tak dikenal, lima kasus pebisnis perusahaan, empat kasus aparat pemerintahan, empat pekerja profesional, tiga dari organisasi masyarakat, dua pejabat legislatif, satu akademikus, dan satu satu pejabat pengadilan.

Sementara itu, pada Januari hingga Maret 2025, pelaku kekerasan terdiri dari delapan orang tak dikenal, tiga polisi, dua petugas Satuan Polisi Pamong Praja, dua aparat pemerintah, satu warga, satu TNI, satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, satu pebisnis perusahaan, satu pekerja profesional, dan satu pejabat pengadilan.

Editor: redaktur

Komentar