AS cabut visa pejabat senior Palestina, dilarang ikut sidang PBB

as-cabut-visa-pejabat-senior-palestina-dilarang-ikut-sidang-pbb . (net)

Tridinews.com - Amerika Serikat (AS) mengumumkan akan menolak visa masuk dan mencabut visa yang ada bagi pejabat senior Otoritas Palestina (PA), termasuk Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.

Keputusan ini bertujuan mencegah mereka menghadiri pertemuan Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mendatang di New York, AS. 

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS mengatakan Abbas dan sekitar 80 warga Palestina lainnya akan terpengaruh oleh keputusan tersebut.

Namun, misi PA di PBB yang terdiri dari para pejabat yang secara permanen bermarkas di sana, tidak akan dimasukkan dalam pembatasan tersebut.

"Menteri Luar Negeri, Marco Rubio, menolak dan mencabut visa bagi anggota Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Otoritas Palestina (PA) menjelang Sidang Umum PBB," kata Departemen Luar Negeri AS mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat (29/8/2025).

Departemen tersebut menilai PLO dan PA gagal untuk memenuhi prospek perdamaian dengan Israel.

"Demi kepentingan keamanan nasional kita, kita harus meminta pertanggungjawaban PLO dan Otoritas Palestina atas kegagalan mereka memenuhi komitmen dan merusak prospek perdamaian," lanjutnya.

Departemen Luar Negeri AS mendesak PA dan PLO harus menolak kelompok perlawanan yang memusuhi Israel, menolak proses hukum terhadap Israel di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ), serta menolak pengakuan negara Palestina.

Setelah PA dan PLO melakukan hal tersebut, AS akan menganggap PA dan PLO serius sebagai mitra perdamaian.

"Sebelum mereka dapat dianggap serius sebagai mitra perdamaian, Otoritas Palestina dan PLO harus menolak kelompok perlawanan, kampanye perang hukum di ICC dan ICJ, dan upaya pengakuan sepihak atas status kenegaraan Palestina," jelasnya, lapor Reuters.

Namun, pejabat Palestina menolak tuduhan tersebut dan mengatakan perundingan yang dimediasi AS selama beberapa dekade gagal mengakhiri pendudukan Israel dan mengamankan negara Palestina yang merdeka.

Kantor Presiden Palestina menyatakan penyesalannya atas keputusan Departemen Luar Negeri AS.

Mereka menekankan keputusan tersebut bertentangan dengan hukum internasional dan "perjanjian markas besar", yaitu AS umumnya diwajibkan untuk mengizinkan akses diplomat asing ke PBB di New York.

Namun, Washington menyatakan dapat menolak visa dengan alasan keamanan, ekstremisme, dan kebijakan luar negeri.

Selain itu, kantor Presiden Palestina mendesak pemerintah AS untuk mempertimbangkan kembali dan membatalkan keputusan tersebut.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Palestina menyatakan terkejut dengan keputusan AS untuk menolak dan mencabut visa pejabat Palestina agar tidak menghadiri sidang Majelis Umum PBB.

"Kami terkejut dengan keputusan Washington untuk mencegah delegasi kami, yang dipimpin oleh Presiden Palestina, menghadiri pertemuan PBB," kata kementerian tersebut dalam pernyataannya, lalu menekankan keputusan ini melanggar perjanjian markas besar PBB. 

Kementerian tersebut mendesak Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, dan Dewan Keamanan PBB untuk memikul tanggung jawab mereka.

"Keputusan Washington tidak akan menghalangi pengakuan internasional terhadap Negara Palestina," lanjutnya, lapor Al Jazeera.

Kementerian Luar Negeri Palestina menyerukan solusi diplomatik dan hukum yang menjamin partisipasi delegasi Palestina dalam pertemuan Majelis Umum PBB.

Berdasarkan perjanjian antara PBB dan Amerika Serikat, negara tuan rumah organisasi internasional di New York, Washington tidak memiliki hak untuk menolak visa bagi pejabat yang melakukan perjalanan ke PBB.
Israel Semringah Dapat Dukungan AS

Selain itu, Israel berterima kasih kepada AS atas keputusan ini, yang digambarkannya sebagai respons terhadap perang hukum melawan Israel.

"Saya berterima kasih kepada Menteri Luar Negeri, Marco Rubio, atas keputusannya untuk menolak visa bagi para pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina dan Otoritas Palestina," kata Menteri Luar Negeri Israel, Gideon Sa'ar, pada hari Jumat.

"Kami berterima kasih kepada Presiden Trump dan pemerintahan AS atas langkah berani ini dan atas dukungannya kepada Israel sekali lagi," lanjutnya.

Dalam konteks ini, situs web AS Axios mengutip sumber yang mengatakan pemerintahan Trump sedang mencoba menghalangi presiden Otoritas Palestina untuk mendeklarasikan kenegaraan dalam pidatonya di Majelis Umum.

Sumber-sumber mengindikasikan masalah ini muncul selama pertemuan antara menteri luar negeri AS dan Israel di Washington pada hari Rabu.

Ia menambahkan Gideon Sa'ar mendorong Rubio untuk menolak visa bagi delegasi Palestina di Majelis Umum.

Beberapa negara, termasuk Prancis, bermaksud mengakui negara Palestina dalam sidang Majelis Umum PBB September mendatang, mengingat perang Israel yang terus menerus melakukan pemusnahan dan kelaparan terhadap warga Palestina di Jalur Gaza serta upayanya mencaplok Tepi Barat yang diduduki.

Sidang Majelis Umum PBB akan dibuka pada 9 September 2025, dimulai dengan sambutan dari Sekjen PBB dan Presiden Majelis Umum (Annalena Baerbock dari Jerman).

Sidang ke-80 tersebut akan membahas isu-isu global seperti iklim, SDGs, kesehatan, serta pertemuan khusus tentang perempuan dan pemuda.

Sejak Oktober 2023, Israel melancarkan serangan besar-besaran ke Jalur Gaza.

Serangan itu disebut sebagai balasan atas Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilakukan oleh Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) dan kelompok perlawanan lainnya pada 7 Oktober 2023, ketika mereka berhasil menembus pertahanan Israel di wilayah selatan.

Dalam operasi tersebut, Hamas menahan sekitar 250 orang.

Hamas menyebut Operasi Banjir Al-Aqsa sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Israel yang sudah berlangsung sejak 1948, serta sebagai respons atas upaya Israel mengambil alih kompleks Masjid Al-Aqsa.

Israel menegaskan hingga kini masih ada sekitar 50 orang yang ditahan di Gaza, meskipun sebelumnya kedua pihak sempat melakukan beberapa kali pertukaran tahanan.

Tidak lama setelah operasi tersebut, Israel langsung menutup total jalur bantuan menuju Gaza. 

Beberapa minggu kemudian akses kembali dibuka, tetapi bantuan yang diizinkan masuk jumlahnya sangat terbatas.

Kondisi semakin parah ketika pada 2 Maret 2025, Israel kembali melakukan blokade penuh terhadap jalur bantuan, mengakibatkan kelaparan besar yang menewaskan lebih dari 101 orang hingga Juli 2025.

Setelah tekanan internasional semakin kuat, Israel akhirnya membuka kembali jalur bantuan pada akhir Juli 2025.

Meski begitu, volume bantuan yang masuk masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Gaza.

Untuk menyalurkan bantuan, Israel bersama Amerika Serikat kemudian membentuk lembaga bernama Gaza Humanitarian Foundation (GHF) pada Mei 2025.

Lembaga ini memiliki beberapa titik distribusi, antara lain di Tal al-Sultan (Rafah selatan), Saudi Neighborhood (Rafah selatan), Khan Younis (Gaza bagian selatan), dan Wadi Gaza (dekat Kota Gaza, bagian tengah barat).

Namun, berbagai laporan menyebutkan bahwa tentara Israel sering menembaki warga Palestina yang berusaha mengambil bantuan dari GHF.

Setidaknya 63.025 warga Palestina telah tewas dan 159.490 terluka dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, sementara lima orang lainnya meninggal karena kelaparan di daerah kantong itu, kata Kementerian Kesehatan pada hari Jumat, Anadolu Agency melaporkan pada hari Jumat.

Editor: redaktur

Komentar