Tridinews.com - KTT BRICS Ke-17 di Rio De Janeiro, Brasil, 6-7 Juli 2025, menjadi catatan baru sejarah bagi diplomasi Indonesia, bukan hanya sebagai anggota baru yang kehadirannya dinanti, tetapi Indonesia juga sebagai pewaris Dasasila Bandung.
Di tengah kisruh global, prinsip-prinsip yang lahir di Bumi Parahiyangan pada 70 tahun silam itu, kembali hadir sebagai pemandu bagi terciptanya tatanan dunia yang lebih adil dan damai.
Pada April 1955, Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung menyatukan 29 pemimpin dari negara-negara yang sebelumnya terjajah, termasuk Soekarno, Nehru, Nasser, dan Zhou Enlai.
Mewakili lebih dari separuh populasi dunia, KAA menjadi deklarasi bahwa bangsa Asia dan Afrika menolak kolonialisme dan tidak akan lagi menjadi penonton sejarah, sebagaimana ditegaskan Presiden Soekarno, kala itu.
Dalam suasana Perang Dingin, negara-negara baru merdeka ini berikrar untuk mengambil jalan sendiri, menghasilkan Dasasila Bandung, berisi 10 prinsip moral yang mengedepankan kedaulatan, hidup berdampingan secara damai, dan non-intervensi.
Semangat Bandung ini melahirkan kekuatan ketiga, yakni suara negara berkembang yang menolak menjadi pion kekuasaan global, mendorong solidaritas, kerja sama, dan menjadi cikal bakal Gerakan Non-Blok, serta mengawal perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah.
Dalam pembukaan sesi Rapat Pleno perdana KTT BRICS di Rio De Janeiro, Brasil, Minggu (6/7), Presiden Lula Da Silva menyebut semangat non-blok Konferensi Bandung adalah akar ideologis BRICS yang menolak dominasi kekuatan besar dunia.
Menurut dia, BRICS adalah manifestasi dari gerakan non-blok Bandung. BRICS menghidupi semangat Bandung.
Kehadiran Presiden Prabowo Subianto beserta empat delegasi Indonesia disambut istimewa oleh tuan rumah, hingga seluruh anggota BRICS di Museum Seni Modern Rio De Janeiro.
Delegasi Indonesia itu terdiri atas Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Wakil Menteri Luar Negeri Arrmanatha Nasir, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, serta Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.
Reformasi
Dalam sidang pleno bertajuk "Perdamaian, Keamanan, dan Reformasi Tata Kelola Global" itu diungkap keprihatinan atas situasi global yang kian kisruh, terhitung sejak pertemuan aliansi ini, kali pertama digelar.
Menurut Lula, krisis multilateralisme menjadi salah satu tantangan utama BRICS, saat ini, yang belum benar-benar sanggup ditangani oleh lembaga-lembaga global, seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Dewan Keamanan sebagai penjaga perdamaian.
Bagi BRICS, rapat-rapat Dewan Keamanan PBB hanya menghasilkan pola yang sudah bisa ditebak dan menuding mereka kian kehilangan kredibilitas.
Faktanya, konflik bersenjata kembali ke posisi di ujung tanduk, sejak Perang Dunia II usai. Justru, keputusan-keputusan organisasi militer, seperti NATO, malah menjadi pemicu perlombaan senjata baru, sementara komitmen untuk pembangunan dan bantuan kemanusiaan justru diabaikan.
"Lebih mudah mengalokasikan 5 persen PDB untuk militer daripada memenuhi janji 0,7 persen untuk pembangunan,” kata Presiden Brasil itu.
Forum yang diikuti lebih dari 36 pimpinan dan delegasi BRICS itu mengkritik standar ganda dalam menanggapi konflik global, termasuk yang terjadi di Timur Tengah, Ukraina, dan Iran.
BRICS juga mengecam pelanggaran hukum internasional yang dilakukan tanpa dasar legitimasi, serta penggunaan lembaga-lembaga internasional untuk membenarkan tindakan sepihak.
Dalam konteks perang Palestina-Israel, juga disoroti pemanfaatan genosida di Gaza yang sudah tidak bisa lagi ditoleransi, serta menekankan pentingnya solusi dua negara berdasarkan perbatasan tahun 1967.
Krisis kemanusiaan di berbagai belahan dunia juga menjadi sorotan. Banyak wilayah krisis, seperti Haiti, telah ditinggalkan terlalu dini oleh komunitas internasional.
BRICS juga mengusulkan transformasi menyeluruh terhadap Dewan Keamanan PBB, termasuk penambahan anggota tetap dari ASEAN, Amerika Latin, dan Karibia, guna menciptakan sistem yang lebih adil dan representatif.
Dasasila Bandung
Sejak 1955, Dasasila Bandung telah menjadi sumber inspirasi dunia bagi nilai-nilai luhur kemanusiaan dan perdamaian lewat prinsip agung yang terkandung di dalamnya.
Dalam pleno tertutup di Rio De Janeiro itu, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan komitmen Presiden Prabowo dalam mendukung perdamaian dunia melalui multilateralisme dan keadilan dalam tata kelola global.
Presiden Prabowo menegaskan menolak perang dan juga penggunaan standar ganda. Bahkan, Indonesia bersama mayoritas anggota BRICS mendorong reformasi multilateral dan keterwakilan global south dalam tata kelola global, khususnya dalam institusi seperti PBB.
BRICS, menurut Presiden Prabowo, harus dapat mendorong kepemimpinan multilateral yang lebih adil dengan berpedoman kepada Dasasila Bandung.
Presiden Prabowo juga mengangkat pentingnya Bandung spirit dalam forum BRICS, terutama dalam memperjuangkan nasib negara-negara berkembang dan mendukung kemerdekaan Palestina.
Indonesia bergabung sejak awal Januari 2025 sebagai anggota ke-10 dari total 11 negara BRICS, menyusul dukungan penuh dari seluruh anggota. Kehadiran Indonesia juga merepresentasikan komposisi geopolitik yang semakin beragam dan inklusif dalam keluarga besar BRICS saat ini.
Presiden Prabowo Subianto menegaskan dukungan penuh Indonesia terhadap arah baru kerja sama BRICS 2025 yang tertuang dalam Leaders' Declaration, yang mencakup penguatan multilateralisme, reformasi tata kelola global, perdamaian dan stabilitas internasional, serta kerja sama ekonomi, perdagangan, dan keuangan.
Kini, semangat Dasasila Bandung kembali hidup dan dibawa oleh Indonesia ke panggung dunia. Indonesia kembali menyuarakan perdamaian, keadilan, dan kedaulatan di tingkat global, termasuk dalam forum BRICS.
Editor: redaktur