Tridinews.com - Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di sebagian besar SMA swasta di Jawa Barat sudah dimulai. Namun, banyak ruang kelas tampak kosong dengan kursi-kursi yang tak berpenghuni.
Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jawa Barat mencatat, rata-rata keterisian kursi di SMA swasta baru mencapai 20 hingga 30 persen. Beberapa sekolah bahkan harus menjalankan MPLS dengan jumlah siswa yang sangat terbatas.
"Untuk swasta, sudah banyak yang melaksanakan kegiatan MPLS, kemudian ada yang masih pra-MPLS dan besok mulai berlangsungnya dengan jumlah siswa yang seadanya," ujar Ketua FKSS Jabar, Ade Hendriana, Selasa (15/7/2025).
Meski MPLS telah berjalan, proses penerimaan murid baru masih dibuka hingga tenggat pengisian Data Pokok Pendidikan (Dapodik) berakhir pada 31 Agustus 2025 mendatang.
"Sementara itu, walaupun kita mulai melaksanakan MPLS di hari ini, kemudian selesai di hari (Jumat), 3 hari lah kita pelaksanaannya, kemudian Senin mulai fokus belajar mengajar tentunya kita terus melaksanakan penerimaan murid baru karena batasan Dapodiknya tanggal 31 Agustus 2025," jelas Ade.
Siapkan Gugatan ke PTUN
Lesunya pendaftaran siswa baru tahun ini diyakini FKSS tak lepas dari imbas Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah (PAPS). Aturan ini memperluas daya tampung sekolah negeri dengan menambah jumlah rombongan belajar (rombel) hingga 50 siswa per kelas.
FKSS pun tak tinggal diam. Mereka tengah menyiapkan langkah hukum untuk menggugat kebijakan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Hari kemarin saya sudah tanda tangan surat kuasa ke tim hukum kami dan gugatan sudah kita susun bersama apa yang menjadi gugatan kita. Tentunya minggu ini kita siapkan somasi dan selanjutnya kita akan melakukan pengajuan gugatan ke PTUN," kata Ade.
Ada empat hingga lima poin gugatan yang disiapkan FKSS, meski mereka masih membuka ruang kolaborasi dengan lembaga lain seperti Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) dan FKSS SMK. Namun, mereka memastikan akan tetap melanjutkan proses hukum meski harus berjalan sendiri.
"Sementara kita serahkan ke tim hukum kami walaupun itu kemarin dirumuskan bersama kami tapi kalau dari FKSS ada empat atau lima yang kami masukkan. Dan kami masih menunggu lembaga-lembaga lain yang mau bergabung dengan kami. BMPS, FKSS SMK belum (bergabung)," tuturnya.
"Kalau pun dari lembaga lain tidak mau gabung, kita tetap jalan, kan kita sudah tandatangan surat kuasa, yoh kalau kita menang, yang menang semuanya, jangan kita saja yang berjalan," lanjutnya.
Ancaman Sekolah Tutup
Meski belum ada laporan resmi sekolah swasta yang menutup operasional akibat kekurangan siswa, Ade menyebut situasi ini sangat mengkhawatirkan, terutama dalam jangka tiga tahun ke depan.
"Karena masih ada kelas 11 dan kelas 12 harus tetap jalan, (tapi) ini dikhawatirkannya untuk 3 tahun ke depan, dimana Pak Gubernur ini masa jabatannya 5 tahun. Artinya ada empat kali lah SPMB yang kalau tidak dicegah dari sekarang itu berpotensi tutup," ungkap Ade.
Di beberapa daerah, situasinya bahkan lebih parah. Dia mencontohkan, di Indramayu dari 28 sekolah swasta yang ada, hanya dua sekolah yang menerima murid baru dengan jumlah di atas 50 orang.
"Kemarin saya lihat itu ada yang hanya menerima empat siswa, enam siswa, lima belas siswa, dua siswa. Mengkhawatirkan lah," ujar Ade.
Penambahan siswa baru, jika ada, juga tidak signifikan. Bahkan menurutnya, lebih banyak siswa yang menarik kembali berkas pendaftaran mereka akibat tersaring oleh kebijakan PAPS.
"Masih sama lah kalau pun ada penambahan juga tidak terlalu banyak lah, tidak terlalu signifikan, paling penambahan satu dua. Bahkan lebih banyak yang mengundurkan dirinya," jelasnya.
Ade juga menyoroti dampak lanjutan dari kebijakan ini di sekolah negeri, yang kini mulai mengalami kelebihan kapasitas. Dia pun menilai kebijakan gubernur saat ini dibuat tanpa melalui kajian lebih dulu.
"Seharusnya kalau ada program seperti ini direncanakan dulu dari awal-awal," pungkasnya.
Editor: redaktur