Rumus Baru Upah Minimum: Antara Harapan Buruh dan Kecemasan Industri

rumus-baru-upah-minimum-antara-harapan-buruh-dan-kecemasan-industri . (net)

Tridinews.com - Indonesia memasuki era baru dalam penentuan upah minimum. Bukan lagi sekadar keputusan politik tahunan atau kompromi menit terakhir, melainkan rumus matematis yang tampak sederhana tetapi dampaknya sangat luas:

kenaikan upah = inflasi + (pertumbuhan ekonomi × alfa).

Di atas kertas, rumus ini terlihat dingin. Namun di balik angka, terdapat taruhan besar: menjaga daya beli jutaan buruh sekaligus memastikan industri tidak tersungkur di tengah tekanan global.

Pemerintah menempatkan variabel alfa pada rentang cukup lebar—0,5 hingga 0,9—yang menandai perubahan paradigma. Upah kini tak lagi semata menjadi pelindung bagi pekerja, melainkan alat untuk mengapresiasi produktivitas.

Namun, ambisi tersebut berhadapan langsung dengan realitas. Gubernur memiliki waktu sangat terbatas—hingga 24 Desember 2025—untuk menetapkan UMP berdasarkan formula ini.

Data terbaru BPS per November 2025 mencatat inflasi 2,72 persen, dan pertumbuhan ekonomi kuartal III berada pada 5,04 persen. Dua angka inilah yang menjadi komponen utama dalam simulasi penetapan upah.

Beda Daerah, Beda Benturan

Formula yang sama menghasilkan dampak berbeda di tiap provinsi.

Contoh DKI Jakarta:

- UMP 2025: Rp5.396.761

- Alfa 0,5 → kenaikan 5,24% → Rp5.679.551

- Alfa 0,9 → hampir Rp5.788.350

Nominal ini besar dan menjanjikan bagi buruh, tetapi bagi industri padat karya di ibu kota, ini bisa berarti tekanan biaya yang tidak kecil.

DIY, sebaliknya, memulai dari basis lebih rendah: Rp2.264.080.
Secara nominal tidak tinggi, namun dampak terhadap daya beli sangat krusial karena inflasi lokal relatif dinamis.

Simulasi ini menunjukkan satu hal: formula teknokratik ini ingin menjahit kesenjangan antarwilayah. Tetapi keberhasilannya sepenuhnya bergantung pada satu variabel yang menjadi arena perebutan: alfa.

Alfa: Variabel Teknis atau Komoditas Politik?

Penentuan alfa menjadi titik paling sensitif.

APINDO mengingatkan ancaman deindustrialisasi jika alfa terlalu tinggi, terutama pada:

- tekstil

- garmen

- alas kaki

Di sektor-sektor ini, biaya tenaga kerja adalah komponen inti. Kenaikan upah yang terlalu agresif dapat memicu PHK atau relokasi pabrik.

Di sisi lain, industri otomotif atau berbasis modal tinggi di Jawa Barat justru mampu menanggung alfa maksimum 0,9.

Dengan demikian, alfa tunggal berpotensi menciptakan ketidakadilan antar sektor. Solusinya mengemuka: alfa sektoral. Ini memungkinkan fleksibilitas tanpa mengorbankan kesejahteraan.

Subjektivitas alfa juga membuka ruang politisasi. Depeda harus membuka data produktivitas, efisiensi, hingga rasio upah terhadap pendapatan. Transparansi adalah syarat agar buruh tak merasa dikebiri dan pengusaha tidak merasa dianiaya.

Gubernur dituntut tidak hanya menjadi mediator, tetapi pengambil keputusan berbasis data—bukan popularitas.

Upah sebagai Investasi, Bukan Biaya

Ada peluang di balik tantangan. Jika kenaikan upah dipadukan dengan:

- pelatihan tenaga kerja terstruktur

- sertifikasi kompetensi

- insentif fiskal bagi industri

maka upah tidak lagi menjadi beban, tetapi investasi dalam kualitas SDM.

Industri padat karya bisa perlahan bertransformasi menjadi padat modal. Pemerintah pusat dapat memperkuat ini dengan:

- tax allowance

- diskon bea masuk mesin

- dukungan teknologi otomatisasi

Kenaikan UMP tak lagi identik dengan hengkangnya investasi, tetapi pemicu peningkatan produktivitas nasional.

Menakar Masa Depan

Keberhasilan formula inflasi + (pertumbuhan ekonomi × alfa) bukan soal angka, tetapi soal kemauan:

- buruh

- pengusaha

- pemerintah

untuk membangun hubungan industrial yang setara dan dewasa.

Upah minimum tetap harus melindungi, tetapi tidak mematikan usaha. Alfa harus berbasis data, bukan emosi.

Jika dikelola bijak, UMP 2026 bisa menjadi pijakan penting bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan middle income trap.

Masa depan ditentukan oleh satu kata kunci: keseimbangan.

Editor: redaktur

Komentar