Tridinews.com - Organisasi nirlaba Reporters Without Borders menempatkan Turki di peringkat 159 dari 180 negara dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025.
Saat ini, "hanya" ada empat orang yang secara resmi dipenjara karena aktivitas jurnalistik. Meski jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding beberapa tahun lalu, pemerintah terus mencari cara baru untuk menekan independensi jurnalis. Misalnya, paspor jurnalis yang baru keluar dari penjara ditahan agar mereka tak bisa ke luar negeri. Jurnalis asing juga tak bisa bekerja bebas di Turki, seperti yang dialami jurnalis Swedia Kaj Joakim Medin yang ditangkap beberapa bulan lalu, meski kemudian dibebaskan.
Menurut Reporters Without Borders dan International Press Institute (IPI), lebih dari 95% media di Turki dianggap pro pemerintah. Artinya, media tersebut dijalankan langsung atau tidak langsung oleh pebisnis yang loyal pada pemerintah.
Gelombang represi baru
Pengamat menyebut adanya pola tekanan sistematis terhadap kerja jurnalistik di Turki. "Kebebasan media di Turki sudah berada dalam tekanan selama 20 tahun," kata Berk Esen, ilmuwan politik dari Universitas Sabanci di Istanbul. Menurutnya, intervensi pemerintah membuat keadaan semakin memburuk.
"Stasiun TV arus utama yang tersisa secara perlahan diarahkan untuk sejalan dengan pemerintah. Yang tersisa kini hanya segelintir saluran yang dekat dengan oposisi," ujarnya.
Tekanan politik kini muncul dalam pola baru. Dua saluran TV terbesar yang kritis terhadap pemerintah, Szc TV dan Halk TV, dilarang menayangkan program apa pun selama 10 hari. Larangan ini mulai berlaku Selasa (08/07) lalu, setelah keputusan dari Dewan Tertinggi Radio dan Televisi Turki (RTK). RTK menyebut alasan larangan ini adalah karena dugaan "menghasut masyarakat".
Khusus untuk Halk TV, sanksi dijatuhkan karena pernyataan seorang narasumber dalam program pada 26 Juni. Saat itu, tamu di studio menyebut: "Turki bukan makin religius, tapi makin sektarian."
Dalam kasus Szc TV, RTK menilai tayangan aksi protes setelah penangkapan Wali Kota Istanbul dan calon presiden, Ekrem Imamoglu, sebagai bentuk "hasutan untuk menyebar kebencian dan permusuhan", menurut pengamat. Imamoglu ditahan sejak Maret lalu dan dianggap sebagai tokoh oposisi paling kuat serta penantang serius Presiden Recep Tayyip Erdogan.
"Pemerintah Turki awalnya ingin melemahkan oposisi dengan menangkap Imamoglu. Namun, upaya itu gagal. Imamoglu justru semakin populer di kalangan oposisi. Karena itu, strategi pun berubah, tekanan kini menyasar area lain," ujar Esen.
Kritik tak lagi mendapat ruang
Sehari sebelum larangan siaran selama sepuluh hari mulai berlaku, pengadilan sempat mengabulkan banding dari tim hukum Halk TV dan menunda pelaksanaannya. Meski begitu, larangan ini tetap dilihat sebagai dinamika baru dalam pembungkaman kebebasan pers. Untuk pertama kalinya, dua saluran televisi oposisi dibungkam di hari yang sama dan dalam durasi yang sama.
"Dengan sanksi ini, RTK mencoba mencegah media melaporkan kepentingan publik dan menekan suara-suara kritis," kata Asosiasi Jurnalis Turki (TGC).
Wakil ketua partai oposisi utama, Gkce Gkcen, juga mengecam keras larangan tersebut. "Larangan siaran ini menyasar stasiun TV yang justru menunjukkan betapa tidak berdasarnya tuduhan terhadap wakil politik kami di daerah. Ini jelas bukan kebetulan. Kemenangan (oposisi) Partai Rakyat Republik (CHP) sebagai kekuatan politik terbesar di Turki kini dibalas dengan hukuman, dan media ikut dihukum karena memberitakannya. Pada akhirnya, rakyatlah yang dibungkam."
CEO Halk TV, Cafer Mahiroglu, memperingatkan bahwa langkah ini bisa berujung pada pencabutan izin siaran secara permanen.
Utusan Parlemen Eropa untuk urusan Turki, Nacho Sanchez Amor, juga menyampaikan kritik tajam lewat platform X. "Saya ragu bahkan George Orwell bisa membayangkan sesuatu seperti RTK! (...) Kebebasan berpendapat media kini terasa seperti kenangan yang makin jauh di Turki. Generasi kini tak pernah mengenalnya dan itu sangat menyedihkan," tulisnya.
Tekanan ekonomi meningkat
Larangan siaran juga berdampak serius secara ekonomi. Tanpa pemasukan dari iklan, stasiun TV oposisi nyaris tidak bisa bertahan. "Media yang kritis terhadap pemerintah ditekan lewat larangan siaran dan denda, hingga dilemahkan secara ekonomi," kata Asosiasi Jurnalis Turki.
Menurut Asosiasi Studi Media dan Hukum (MLSA), dalam periode 1 Januari 2023 hingga 30 Juni 2024, RTK menjatuhkan denda total sebesar 124 juta lira Turki (sekitar €4 juta) dan memerintahkan penghentian siaran dalam 1.357 kasus. Hanya dalam enam bulan pertama tahun 2023, lima media oposisi didenda sekitar 20 juta lira (sekitar €1,5 juta), sementara media pro pemerintah hampir tidak tersentuh.
Fase krusial bagi Turki
Larangan siaran TV ini datang di tengah situasi politik yang memanas di Turki. Proses damai dengan kelompok bersenjata Kurdi, PKK, menuai kontroversi. Sementara sejumlah politisi senior dari Partai Rakyat Republik (CHP) ditahan. Mantan Wali Kota Izmir, Tunc Soyer, ditangkap sejak akhir pekan lalu. Kota Izmir, yang merupakan kota terbesar ketiga di Turki, dikenal sebagai basis kuat CHP dan sebelumnya jadi salah satu kota besar terakhir yang dikuasai oposisi.
"Pemerintah saat ini lebih memilih mengendalikan, bukan membungkam total. Tapi itu bisa berubah sewaktu-waktu," kata analis politik Berk Esen kepada DW. Ia menambahkan, meski situasi sudah begitu tertekan, kebebasan pers masih bisa terus memburuk. "Kita belum sampai di titik terendah," ujarnya.
Editor: redaktur