Zonasi PPDB, Baik atau Buruk?

zonasi-ppdb-baik-atau-buruk Ilustrasi. ()

BANDUNG - Sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) menambah daftar panjang polemik yang terjadi setiap tahun ajaran baru. Ketimpangan atas sistem tersebut, membuat masyarakat seperti dipaksa berlomba mencari sekolah negeri terbaik atau favorit.

Seperti tertuang dalam Permendikbud No 14/2018, beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai sistem zonasi dalam PPDB 2018. Di antaranya, sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda) wajib menerima calon peserta didik berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah dengan kuota paling sedikit 90% dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima.

Kemudian, domisili calon peserta didik yang termasuk dalam zonasi sekolah didasarkan pada alamat pada kartu keluarga (KK) yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum pelaksanaan PPDB.

Selanjutnya, radius zona terdekat dalam sistem zonasi ditetapkan oleh pemda sesuai dengan kondisi di daerah tersebut dengan memperhatikan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut; dan jumlah ketersediaan daya tampung sekolah. Lalu, penetapan radius zona pada sistem zonasi ditentukan oleh pemda dengan melibatkan musyawarah/kelompok kerja kepala sekolah.



Bagi sekolah yang berada di daerah perbatasan provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase penerimaan siswa dan radius zona terdekat dapat ditetapkan melalui kesepakatan tertulis antar pemerintah daerah yang saling berbatasan.

Sementara calon siswa di luar zonasi dapat diterima melalui beberapa cara yakni melalui jalur prestasi dengan kuota paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Kemudian, alasan perpindahan domisili orangtua/wali atau alasan terjadi bencana alam/sosial dengan paling banyak 5% (lima persen) dari total keseluruhan siswa yang diterima.

Regulasi lainnya adalah sistem zonasi menjadi prioritas utama atau terpenting dalam PPDB jenjang SMP dan SMA. Setelah seleksi zonasi baru kemudian dipertimbangkan hasil seleksi ujian tingkat SD atau hasil ujian nasional SMP untuk tingkat SMA.

Serta, untuk jenjang SD, sistem zonasi menjadi pertimbangan seleksi tahap kedua setelah faktor minimum usia masuk sekolah sudah terpenuhi. Sedangkan bagi SMK sama sekali tidak terikat mengikuti sistem zonasi. Dalam PPDB di kota Bandung, adanya sistem zonasi diwarnai sejumlah protes karena dugaan adanya kecurangan.

Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat, Dewi Sartika menjelaskan, pihaknya sudah pernah memberi respons terkait terbitnya Permendikbud No 51/2018 tentang PPDB. Hal ini dilakukan menyikapi sejumlah pasal yang tidak sesuai dengan kondisi di daerah. “Kami hormati adanya aturan Permendikbud tentang PPDB. Tapi, ada yang tidak sesuai dengan kondisi di daerah,” jelasnya.

Menurut Dewi Sartika, respons itu disampaikan dalam beberapa kesempatan rapat koordinasi. Baik yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

“Kami menyampaikan dengan baik. Meski tidak tertulis. Tapi posisi Permendikbud itu sudah jadi. Artinya, kami juga menyampaikan apa yang jadi keresahan masyarakat. Ini jadi konsern kami. Semoga bisa jadi bahan perbaikan untuk aturan permendikbud ke depan tentang PPDB,” ungkapnya.

Dewi menjelaskan, beberapa masukkan yang tertuang di permendikbud dimaksud. Pertama tentang penetapan persentase tiap kuota. Misal zonasi 90%, prestasi 5% perpindahan 5%. Ini sejatinya diserahkan ke pemerintah daerah sesuai kondisi.

Kedua, ada pernyataan kartu keluarga atau surat keterangan domisili. Ternyata di kabupaten atau kota tertentu, aparat kelurahan tidak bisa menerbitkan surat keterangan domisili, yang dapat dikeluarkan adalah surat pernyataan.

Ketiga, kata dia, dalam permendikbud, di dalam seleksi jalur zonasi, berbasis jarak, jika ada beberapa siswa yang memiliki jarak sama, dilakukan seleksi berdasar waktu mendaftar. Ini menyebabkan terjadinya pendaftaran membludak pada saat bersamaan. Bahkan ada yang datang pada dini hari.

Keempat, kata Dewi, ada pasal yang ambigu. Bisa diartikan berbeda. Terkait pasal yang menyatakan, siswa dapat memilih satu dari tiga jalur pendaftaran di dalam zonasi. Sementara di pasal lain menyatakan jalur prestasi dan perpindahan hanya dilakukan untuk calon peserta didik dari luar zona.

Ini seolah berbeda makna, pernyataan pertama dimaknai dalam zonasi bisa memilih jalur zonasi, prestasi dan perpindahan. Sedangkan di pasal lain di atas maknanya jalur prestasi dan perpindahan harus keluar zona.

Kelima, seleksi berdasarkan Ujian Nasional (UN) persentasenya kecil. Sedangkan di Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2003 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak.

Di Pasal 9 menyatakan, setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadinya, dan tingkat kecerdasannya, sesuai dengan minat dan bakat.

Kemudian, Peraturan Pemerintah No 17/2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan di Pasal 82 ayat 4. Menyatakan, seleksi penerimaan peserta didik baru di kelas X pada satuan pendidikan menengah didasarkan pada hasil Ujian Nasional.

Satu lagi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 14/2018 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan, Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah, di Pasal 17 ayat B menyatakan, hasil UN digunakan sebagai dasar untuk pertimbangan seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.

“Artinya jikalau berdasarkan aturan-aturan tersebut, prestasi Ujian Nasional mendapat kuota tidak sedikit. Atau lebih berkeadilan. Ini kan dasarnya ada,” jelas dia.


Jalur Perpindahan Jadi Cara 'Terbaik'

Fenomena dalam PPDB tahun 2019, juga diwarnai adanya anak pejabat yang lolos ke sekolah negeri menggunakan jalur perpindahan orang tua. Seperti halnya yang dilakukan oleh anak dari Gubernur Jabar, bisa masuk ke sekolah favorit SMAN 3 kota Bandung melalui jalur perpindahan orang tua.

Hasil penelusuran menyebutkan, bahwa Ridwan Kamil semasa menjabat Wali Kota Bandung beralamat di Cigadung. Namun pada 2019, sudah menjadi warga Kecamatan Bandung Wetan yang menjadi lokasi rumah dinas Gubernur Jabar di jalan Pakuan.

Istri Gubernur Jawa Barat, Atalia Praratya Ridwan Kamil mengatakan, ia mendaftarkan PPDB untuk Zara dengan memilih jalur perpindahan ke SMAN 3 Bandung seperti diatur dalam Permendikbud. "Kami daftar pakai jalur perpindahan. Sesuai aturan yang ada, bukan dibuat-buat," ujarnya, saat mendaftar sang anak di SMA 3 pada tanggal 20 Juni lalu.

Menanggapi hal tersebut, Kadisdik Jabar, Dewi Sartika menjelaskan bahwa anak kedua Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, yakni Camillia Laetitia Azzahra melakukan pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) ke SMA Negeri 3 Bandung.



"Pendaftaran dilakukan sesuai aturan atau sesuai regulasi dan prosedur yang berlaku, seperti mengantre dengan orang tua siswa lainnya," terang Dewi.

Dewi Sartika, menjelaskan, bahwa Zara, sapaan Camillia, mendaftar ke SMAN 3 Bandung lewat jalur perpindahan. Jalur tersebut sesuai dengan Permendikbud Nomor 51 tahun 2018 tentang PPDB. “Ada tiga jalurnya, zonasi, prestasi, dan perpindahan. Jadi secara aturan begitu. Dibolehkan. Orang tua diperkenankan memilih jalur sesuai dengan kondisinya,” jelasnya.

Dewi Sartika menyatakan, jalur perpindahan sangat beralasan dipilih Zara, karena sejak Ridwan Kamil dilantik pada September 2018, Zara dan keluarga pindah ke Rumah Dinas Pakuan di Jalan Otto Iskandardinata No 1 Kota Bandung. “Maka otomatis pindah Pak Gubernur ke rumah dinas. Begitupun keluarga, termasuk Zara,” jelas Dewi Sartika.

Keberadaan rumah dinas, kata Dewi Sartika, disiapkan untuk mendukung efektivitas kerja Gubernur dan keluarga. Namun, karena masa jabatan sementara, maka dokumen kependudukan yang ada tidak berupa pindah kartu keluarga (KK), tetapi cukup keterangan dari RT/RW. “Perpindahan Pak Gubernur diketahui umum. Bukan menjelang PPDB atau kepentingan lainnya,” katanya.

Soal jalur perpindahan, lanjut Dewi Sartika, ditujukan untuk melindungi mereka yang pindah dan belum memiliki KK di tempat baru. Hal tersebut tertuang jelas dalam Pasal 22 Permendikbud 51 Tahun 2018 dan Juknis PPDB Disdik Provinsi Jawa Barat. “Orang memilih jalur apapun sah. Selama sesuai aturan,” katanya.

Dengan begitu, apa yang dilakukan Gubernur dan istri untuk mendaftarkan Zara lewat jalur perpindahan seusai dengan regulasi. Oleh karena itu, kata Dewi Sartika, semua calon peserta didik baru pun dapat melakukan hal yang sama.

SMA Negeri 3 Bandung berada di Zona A dan berlokasi di sekitar Gedung Pakuan. “Semua warga negara punya hak yang sama. Pak Gubernur dalam hal ini tidak melanggar aturan,” katanya.

Penelusuran ke Disdukcapil kota Bandung, menyebutkan bahwa nama Ridwan Kamil memang telah mengajukan kartu keluarga (KK) perpindahan sejak Oktober 2018.

Kepala Disdukcapil Kota Bandung Popong Nuraeni menjelaskan, bahwa pengajuan KK yang mendadak sesuai aturan dilarang."Kalau pengajuan mendadak itu dilarang, minimal enam bulan lalu baru kita berikan KK baru. Untuk proses tidak lama hanya dua hari. Untuk pengajuan atas nama Pa Gubernur itu masuk Oktober 2018, Maret baru jadi KK barunya," jelas Kadisdukcapil Kota Bandung kepada redaksi.

"Untuk KK atas nama Gubernur Jabar ini masuk dalam daftar KK yang diterbitkan selama bulan february sampai tanggal 9 Juli yakni sebanyak 5.203," jelasnya.



Ditegaskan Popong, Disdukcapil mengeluarkan KK sesuai dengan prosedur. "Sepanjang masyarakat melaporkan dan persyaratan dipenuhi kami layani. Kami tidak uji meteril," jelasnya.

“Untuk bulan Juni dan Juli kalau ada KK yang dibuat kan nggak bisa masuk sebagai persyaratan untuk PPDB. Persyaratan PPDB KK minimal 6 bulan, sampai dengan pendaftaran kemaren. Apalagi yang baru 1 bulan nggak bisa diterima," ujarnya menambahkan.

Untuk mekanisme pembuatan KK, Popong mengatakan bahwa pindah tidak harus satu keluarga. "Jadi boleh tidak satu keluarga, ada 1 atau 2 orang dari KK yang bersangkutan pindah (ikuti prosedurnya)," paparnya. "Orang pindah bisa nebeng di KK orang lain dengan seizin pemilik KK tersebut dengan bukti pernyataan si pemilik KK," terangnya.

Dalam pengajuan, misalkan belum punya tempat tinggal pribadi dan tinggal di tempat indekos dan ngontrak maka harus seizin sipemilik alamat rumah. "Harus ada izin dari yang punya kost atau pemilik kotrakannya," paparnya.

Jika anak yang usia di bawah 17 tahun, harus ada pernyataan org tua bertanggung jawab atas putranya ikut di kk orang lain. "Pindah harus membawa SKPWNI (Surat Keterangan Pindah WNI)," terang Popong menambahkan.

Pemerhati pendidikan dari Kalyanamandira, Ben Satriana menilai bahwa jalur perpindahan tugas orangtua yang digunakan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk mendaftarkan putrinya ke SMAN 3 Bandung menyalahi aturan. Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 yang mengatur tentang mekanisme PPDB telah mengatur bahwa jalur itu hanya digunakan untuk pendaftar dari luar zona bersangkutan.

"Dalam Permendikbud pasal 22, jalur perpindahan tugas orangtua wali murid itu untuk yang yang berdomisili di luar zonasi bersangkutan. Sementara Kota Bandung ini satu zona. Jadi, untuk yang di luar Kota Bandung, bukan dalam satu zona beda kecamatan," kata Ben Satriana, Jumat 21 Juni 2019.

Menurut dia, kepindahan Ridwan Kamil dan keluarganya ke rumah dinas Gubernur Jabar tidak memenuhi syarat untuk jalur perpindahan tugas orangtua.

Ben Satriana tidak sepakat dengan penjelasan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Barat yang menyebut pemilihan jalur itu sudah sesuai dengan aturan. "Kepala Dinas ini menutupi. Jangan cari aman," ujarnya.

Ia juga mengkritisi alasan Kartu Keluarga baru gubernur belum jadi sehingga menggunakan jalur perpindahan orangtuaitu. "Seorang gubernur pindah, sudah lebih dari enam bulan pindah belum mengurus KK," katanya.


Dugaan Gunakan KK Bodong

Menanggapi adanya informasi KK yang dianggap bodong, Disdukcapil kota Bandung bisa menelusuri hal tersebut. "Jika ada KK bodong, kami bisa bantu cek by sistem dan dari fisiknya kami akan tau itu asli atau tidak," jelasnya lagi.

Popong menekankan, bagi yang pindah harusnya membawa SKPWNI dan melapor RT dan RW. "Jadi yang tau secara de facto adalah RT dan RW, yang mengizinkan warga ini ada di wilayahnya atau tidak," tegasnya.

Pemilik KK yang mengikuti prosedur pasti akan terdaftar di database. "Bisa dicek secara sistem. Satu dua orang yang pindah secara prosedur akan ketahuan, sebaliknya yang tidak ikut prosedur KKnya suatu saat akan ketahuan dan bermasalah," jelasnya.

Fenomena lainnya dialami puluhan orangtua murid asal Kecamatan Kiaracondong yang memprotes penerapan zonasi dalam penerimaan siswa baru.

Mereka menggelar aksi di depan kantor Pemkot Bandung, Jalan Wastukancana, Rabu (3/7/2019) lalu. Dalam aksinya, para orang tua siswa ini turut serta membawa anak-anak nya dal aksi unjuk rasa.



Menurut salah satu orang tua siswa, Lilis Setiawati mengatakan bahwa aksi ini dilakukan karena sangat merugikan masyarakat. "Anak saya ini daftar di sekolah SMP negeri, tapi ditolak. Padahal jaraknya 400 meter," jelas Lilis.

Lilis menambahkan, dirinya lalu meminta rekomendasi RMP (rawan meneruskan pendidikan) ke kelurahan, namun tetap ditolak pihak sekolah negeri yang dekat dengan rumah.

Kedatangannya ke Pemkot Bandung ini, untuk meminta pemkot menjelaskan soal zonasi. "Anak saya belum daftar ke sekolah manapun, karena sekolah terdekat pun tidak diterima," jelasnya.

Lilis menambahkan, proses pendaftaran anaknya ke SMP, sangat dipersulit. Menurutnya selain lokasi sekolah yang jauh dari rumahnya, dirinya sampai harus meminta rekomendasi ke anggota DPRD.

"Kategori anak saya RMP (rawan melanjutkan pendidikan) jadi saya minta rekomendasi tersebut agar bisa diterima disekolah yang terdekat, namun tetap saja ditolak," jelas Lilis.


Aturan Dimainkan, Masyarakat Dipermainkan

Iman Rohayadi seorang guru di Kota Bandung, ikut memprotes adanya sistem zonasi saat PPDB 2019. Sebagai seorang guru, Iman menjadi korban sistem zonasi bagi anaknya yang hendak mendaftar sekolah.

"Jadi saya sebagai guru pun korban sistem zonasi, bahkan anak saya sendiri mau masuk SMA ga keterima karena sistem zonasi ini," jelasnya, usai aksi didepan Pemkot Bandung, Rabu (3/7).

Iman bahkan mengkritisi adanya jalur perpindahan orang tua. "Dulu tahun 2018 masih ada jalur guru, sekarang dihapus diganti jalur perpindahan orang tua. Namun sekaang sepertinya rakyat dipermainkan, masa anak Gubernur dari Cigadung bisa sekolah di SMA favorit, padahal domisilinya jauh, itu yang saya sayangkan," jelasnya.

Menyikapi hal tersebut, Iman meminta pemerintah tegas. "Pemerintah harus tegas, dan jangan berpihak kepada pejabat, berpihak kepada rakyat," jelasnya.



Perihal kartu keluarga, pemerintah harus jeli juga. "Aparat kewilayahan jangan ikut bermain dengan memanipulasi kartu keluarga. Seharusnya kartu keluarga si anak itu masuk sesuai nama orang tua, bukan hanya numpang kartu keluarga," jelasnya.

Salah seorang warga cibiru, kota bandung, Taufik M. Syarif juga mengeluhkan hal sama, ketika anak perempuan satu satunya tidak dapat bersekolah di SMA Negeri yang diharapkan akibat sistem zonasi tahun 2019 ini, sehingga akhirnya dirinya memasukan ke sekolah swasta yang terjangkau.

“Anak saya, memperoleh nilai Ujian nasional yang menurut ukuran saya sangat tinggi yaitu 387,2 atau dengan nilai rata rata 96, tapi kebingungan mencari sekolah, jalur prestasi pun tidak lolos” ujarnya geram.

Dirinya menambahkan bahwa cita cita anaknya adalah menjadi dokter dan ingin masuk ke SMAN 3 Bandung, namun asa nya harus dikubur akibat sistem zonasi tersebut.

“saya bingung, harus disekolahkan kemana anak saya, swasta yang berkualitas biayanya tidak murah apalagi untuk ukuran seorang pegawai rendahan seperti saya” tambahnya kemudian.


Jangan Apriori kepada Sekolah Swasta

Menyoroti PPDB tahun 2019, ombudsman RI perwakilan Jabar menjelaskan banyaknya laporan ke ombudsman terkait praktek kecurangan tersebut.

Kepala Ombudsman Perwakilan Jabar Haneda Sri Lastoto menjelaskan jika PPDB dan UN bukan barang baru. Sejak 2013 awal, ketika sistem ini digulirkan, ombudsman sudah melakukan pemantauan terhadap SMP, SMA, dan SMK.

"Tahun 2013-2016 itu dulu laporannya masih ada rekomendasi pejabat model semacam itulah, monitoring kami terkait jumlah rombel yang seharusnya 32 atau 28 untuk SD itu masih terjadi," jelasnya kepada redaksi.

Bahkan soal jumlah siswa satu kelas, itu bisa jadi berubah sampai 40 siswa. "Karena itu zonasi resmi diberlakukan awal 2017," jelasnya.

Ombudsman sebagai lembaga pemantau, melakukan pemantauan dan pemeriksaan PPDB. "Karena ini program nasional yang intinya memastikan penyeleggara negara sudah sesuai dengan aturan yang dilakukan, prinsip dasarnya seperti itu kita lakukan pemantauan," jelasnya.



Dalam pemantauan sejak 2017, ombudsman memberikan statemen tegas soal standar pelayanan sesuai pasal 20 UU Pelayanan Publik. "Ada tiga syarat, yakni kemampuan kebutuhan dan kondisi lingkungan," terangnya.

Di sini penyelenggara negara wajib mengikutsertakan masyarakat, dalam hal pelayanan publik ke depan seperti apa. "Harusnya pasal 20 itu bisa menerjemahkan dari mulai tingkat kementerian hingga ke bawah. Dengan sistem PPDB zonasi, harus dilihat kemampuan daerah juga harus mendukung," terangnya.

Terkait kisruh PPDB di Jabar, Haneda menegaskan bahwa anak didik yang tidak terfasilitasi di sekolah negeri, bisa ke swasta. "Masyarakat harusnya melihat bahwa fasilitas pendidikan di swasta, itu lebih baik. Namun swasta harus support ke pemerintah," jelasnya.

Ombudsman pernah menerima laporan, soal jual beli kursi. "2016 kami pernah menerima laporan jual beli kursi, ini jadi sorotan kami, 2016 kami menyerahkan video sebagai bentuk pengawasan hal itu. Saat itu kami menyamar sebagai orangtua siswa, sangat terbuka dan itu terjadi terbuka, saat itu Wali Kota Bandung pak RK (Ridwan Kamil) ya," jelasnya.

Di tahun 2017, ombudsman menyatakan bahwa zonasi itu sistem penidikan yang harus didorong. "Maka pengawasan ada dan sangat selektif. Sistem pun harus lebih baik dilakukan oleh lembaga pendidikan, seperti perbaikannya harus ada, mutu guru dan jumlah sekolah harus seimbang," paparnya.

Di tahun 2019 ini, ombudsman menerima 86 laporan dugaan pelanggaran. "Kita terima 86 Laporan, lalu diverfikasi ada 78 laporan. Di antaranya 43 menunggu kelengakapan. Dan saat ini 38 sudah selesai," jelasnya.


Zonasi Efektif Jika Didukung Sarana Sekolah

Untuk Jabar secara umum, Ombudsman memang tidak memantau di kota Bandung. "Untuk di jabar ini sudah dua tahun ini tidak difokuskan di Bandung, kami memantau diluar Bandung, seperti Garut, Subang, Cimahi. Karena Kota Bandung sudah jadi pilot project," terangnya.

Untuk tahun ini, laporan dari Garut dan Subang, sangat mengejutkan. "Kami temukan dugaan penyalahgunaan KK, itu perlu pendalaman oleh tim. Bahkan Pemprov Jabar pro aktif menyikapi soal KK ini," jelasnya.

Ombudsman dalam hal ini sifatnya koordinatif, penyelenggara negara tugas pokok omnbudsman sebagai pengawas. Ombudsman melihat, dalam kasus anak gubernur kita tidak dalam posisi melakukan atau menjudge.

"Merujuk aturan dasar, juknis syarat itu terpenuhi harus tunduk. Hanya soal kepatutan kelaziman disaat publik menyoroti anak gubernur ini, menjadi soal yang aga bias, lazim atau patutkah," paparnya.

Jika merujuk aturan tidak boleh haruslah ditaati. "Harus menuruti aturan, karena regulasinya ada, dan memenuhi syarat. Jangan karena anak pimpinan satu daerah," jelasnya.

Terkait proses pembuatan KK itu harus ditempuh, masyarakat harus menjadi pengawas publik. "Dalam Undang-undang keterbukaan publik, ini jarang menyentuh, seharusmya didalami," terangnya.

Ombudsman Jabar memberikan saran, agar ke depan zonasi ini melibatkan warga. "Jadi publik dilibatkan melalui pengesahan Pergub, Perwal sehingga saat pelaksanaan tidak ada protes," terangnya.

Zonasi secara umum, menurut ombudsman tidak akan berubah mendorong sistem zonasi. "Zonasi berjalan, jika ini didukung sarana, PR-nya adalah sarana karena itu menjadi kewajiban pemerintah ," tegasnya

Dalam situasi zonasi, masyarakat harus melihat swasta harusnya jadi pilihan masyarakat."Ini terbalik, negeri harusnya jadi biasa saja. Masyarakat kita saat ini punya filosofi berbeda, nah yang skrg kebalik justru mereka menyerbu negeri, sehingga bebannya jadi berat. Dan zonasi bukan mengejar prestasi, namun lebih kepada gengsi," pungkasnya.


Beli Kursi Demi SMA Favorit

Pascapelaksanaan PPDB SMA di Kota Bandung, sekolah favorit kembali masuk ‘dapur’ laporan Ombudsman oleh sejumlah elemen pendidikan.

Penelusuran ke SMA Negeri 5 Bandung terkait jumlah rombongan belajar (rombel) menyebutkan, ada 10 rombel atau 10 kelas. Perwakilan dari Bagian Kesiswaan SMA Negeri 5 Bandung, Mustar mengatakan, dari total 10 kelas ada 339 siswa atau rata-rata per kelas sebanyak 34 orang siswa.

"Jadi tidak genap 340, dan itu kebijakan kepala sekolah, kami hanya menjalankan teknis saja," paparnya, Kamis (18/7/2019). Mustar menegaskan, bahwa jumlah 339 tidak menyalahi aturam permendiknas. “Ini hanya hal teknis saja," jelasnya.

Lain halnya dengan kasus yang terjadi di SMA Negeri 3 Bandung, muncul kabar dua orang siswa yang menggunakan alamat sekolah di Jalan Belitung, hingga mereka harus didiskualifikasi.

Wakasek Bidang Kehumasan SMA Negeri 3 Bandung, Rohmat Herawan menjelaskan, bahwa kedua orang siswa tersebut harus menanggung akibat dari kesalahan yang dilakukan orangtuanya.

"Kasihan anaknya, ini kan orangtuanya yang salah. Kalau memang ada pihak-pihak yang mau menyalahkan silahkan saja menggugat ke Pengadilan," terangnya.



Rohmat mengatakan, proses zonasi dalam PPDB 2019 ini sudah diperluas. "Khusus kota Bandung sudah diperluas, jadi salah sekolah dimana. Kalaupun mau, pihak orang tua itu bisa memprotes kebijakan dari atas, bukan ke sekolah," paparnya.

Sementara itu ombudsman Jawa Barat kembali menerima laporan Pengadilan Mengenai PPDB di Jabar. Laporan mengenai adanya kecurangan tersebut disampaikan oleh Forum Aksi Guru Indondesia (FAGI) Forum Orangtua Siswa (Fortusis) dan Asosiasi Komite Sekolah Indonesia (Askida).

Kepala perwakilan Ombudsman Jabar Haneda Lastoto membenarkan adanya laporan tersebut. "Ya tadi ada laporan dari tiga organisasi bidang pendidikan," jelasnya, Kamis (18/7/2019).

Haneda menambahkan, pihaknya akan meproses laporan paling cepat dua hari ke depan sejak laporan dibuat. "Kita proses dua hari, kemudian kita rapat pleno terkait langkah Ombudsman," jelasnya.

Pihak pelapor Iwan Hermawan Ketua FAGI mengatakan, bahwa dalam laporannya ke ombudsman Jabar disebutkan SMA favorit di Bandung diduga melakukan sistem jual beli kursi atau sistem titipan. "Temuan kami bersama Fortusis dan Askida ini cukup mecengangkan, yakni adanya sistem offline PPDB dengan dugaan sistem titipan," jelas Iwan.

Jika satu rombel 34 orang dengan 10 kelas maka ada 340 siswa. "Saat pengumuman dari 340 orang yang diterima di satu SMA favorit, ada yang satu kelas 36 orang siswa, jika begitu berarti ada beberapa kursi kosong (di kelas lain)," jelasnya di kantor Ombudsman Jabar.

Selain itu, pihak sekolah tidak melakukan transparansi publik. "Pengumuman PPDB tidak transparan, tidak detail nama siswa, jumlah NEM, hasil tes dan dari sekolah serta alamat rumah tidak ditampilkan, hanya memuat nama saja," jelasnya. (TIM)

Editor: redaktur

Komentar